TAHUN 2018 yang baru saja kita lalui beberapa hari lalu merupakan tahun kebangkitan bagi kinerja perekonomian Jawa Tengah (Jateng). Pertumbuhan ekonomi yang selama 2015-2017 terus menurun dari 5,47% (2015) menjadi 5,28% (2016) dan 5,27% (2017), pada tahun 2018 diperkirakan bertumbuh di atas 5,4%.
Perkiraan itu didasarkan pada Laporan BPS Jateng bahwa pertumbuhan ekonomi Jateng pada triwulan I hingga III 2018 adalah 5,41% (triwulan I), 5,54% (triwulan II), dan 5,27% (triwulan III). Pada triwulan IV 2018, pertumbuhan ekonomi Jateng diperkirakan di atas 5,5%.
Kenaikan pertumbuhan tersebut berdampak positif pada penurunan angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin Jateng yang pada September 2017 masih 4,197 juta orang (12,23%) menurun menjadi 3,9 juta (11,32%) pada Maret 2018. Pada September 2018, jumlah penduduk miskin Jateng diperkirakan akan menurun lagi menjadi sekitar 3,58 juta (10,37%).
Selain menurunkan angka kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut juga akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan per kapita masyarakat, penurunan jumlah pengangguran, kenaikan indeks pembangunan manusia, dan lainnya.
Namun, kenaikan kinerja perekonomian tersebut justru diikuti peningkatan ketimpangan pendapatan atau kesenjangan sosial-ekonomi antarkelompok masyarakat. Menurut Laporan BPS, pada Maret 2018 ketimpangan pendapatan (ekonomi) antarkelompok masyarakat yang diukur dengan Rasio Gini meningkat signifikan dari 0,365 (September 2017) menjadi 0,378. Padahal selama 2014-2017, Rasio Gini Jateng menurun signifikan dari 039 (2013) menjadi 0,382 (2015) dan 0,365 (2017). Penurunan rasio Gini Jateng selama 2014- 2017 adalah yang terbaik dan terendah di Pulau Jawa.
Yang penulis khawatirkan, seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 5,4% pada 2018, Rasio Gini Jateng pada September 2018 bisa melambung lagi mencapai level 0,39 seperti yang pernah terjadi pada 2013. Kenaikan drastis Rasio Gini tersebut patut diwaspadai dan perlu segera diatasi karena bisa menimbulkan potensi radikalisme dan gejolak sosial yang destruktif dalam masyarakat.
Pendapatan Rendah
Kenaikan ketimpangan pendapatan antarkelompok masyarakat berpenghasilan tinggi, menengah, dan rendah sebenarnya sudah mulai terjadi pada September 2017. Berdasarkan laporan BPS, indeks Rasio Gini Jateng yang pada Maret 2017 telah mencapai level terendah yaitu 0,357, pada September 2017 naik menjadi 0,365 kemudian naik lagi secara signifikan menjadi 0,378 pada Maret 2018.
Secara teoretis dan empiris, kenaikan Rasio Gini tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jateng selama Maret 2017-Maret 2018 kurang berkualitas dan kurang berkeadilan sosialekonomi. Dengan kata lain, upaya-upaya pemerintah dan para pelaku ekonomi untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi Jateng justru menimbulkan social costs dan ecological costs yang besar yang harus ditanggung atau diderita oleh kelompok masyarakat tertentu (the lossers).
Dari hasil studi saya (Lako, 2017), kelompok masyarakat yang menanggung costs (biaya atau kerugian) tersebut adalah kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Secara statisitik, BPS membagi kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan (pengeluaran) dalam tiga kelompok. Yaitu 20% penduduk berpendapatan tinggi, 40% penduduk berpendapatan menengah, dan 40% penduduk berpendapatan rendah.
Berdasarkan Laporan BPS Jateng selama 2013-2017, tampak jelas penguasaan pendapatan dari kelompok 20% penduduk berpenghasilan tinggi meski cukup besar, terus menurun dari 47,07% (2013) menjadi 44,11% (2016) dan 43,59% (2017). Sebaliknya, penguasaan pendapatan dari kelompok 40% penduduk berpenghasilan menengah (sebagai catatan, pelaku UMKM termasuk dalam kelompok ini) malah terus meningkat dari 34,55% (2013) menjadi 37,46% (2016) dan 38,31% (2017).
Sementara itu, fakta memprihatinkan tampak pada kelompok 40% penduduk berpenghasilan rendah. Selama 2013-2017, penguasaan pendapatan dari kelompok masyarakat ini sangat kecil, yaitu hanya sekitar 18%. Pada 2013, kelompok ini hanya menguasai 18,38%. Pada 2016 dan 2017, penguasan pendapatan dari kelompok masyarakat miskin ini juga terus menurun dari 18,64% (2015) menjadi 18,42% (2016) dan 18,1% (2017).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses dan hasil pembangunan Jateng selama 2014-2018 lebih banyak menguntungkan dan dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dibanding kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Sebaliknya, proses dan hasil pembangunan Jateng selama 2014-2018 tidak berdampak apa-apa bagi kelompok masyarakat berpendatan rendah.
Dari tren penurunan persentase penguasaan pendapatan selama 2015-2017, tampak bahwa hasil pembangunan Jateng justru berdampak negatif pada penurunan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah ini. Hal tersebut sungguh ironis karena salah satu tujuan utama dari pembangunan Jateng adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan serta mengentaskan kelompok masyarakat ini dari lilitan kemiskinan.
Saya khawatir, sangat mungkin dampak negatif tersebut akan kian berlanjut dan membesar pada 2018 dan pada 2019 ini apabila pemerintah dan pihakpihak terkait tidak segera fokus menemukan akar permasalahannya dan melakukan aksi-aksi pencegahan.
Menurut saya, strategi, kebijakan, dan aksi-aksi pelaksanaan pembangunan daerah Jateng dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi daerah selama dua tahun terakhir (2017-2018), baik pada level provinsi maupun kabupaten/ kota, perlu dikaji kembali secara menyeluruh dan terintegrasi untuk menemukan akar permasalahannya.
Selain itu, arah, strategi, kebijakan, dan agenda-agenda aksi pembangunan Jateng pada 2019 dan tahun-tahun selanjutnya juga perlu lebih difokuskan untuk meningkatkan penguasaan pendapatan dari kelompok 40% masyarakat berpendapatan rendah.
Selain untuk mempersempit ketimpangan ekonomi antarkelompok masyarakat, fokus tersebut juga akan efektif menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah. (40)
—Andreas Lako, Guru Besar Akuntansi, Unika Soegijapranata Semarang.
►https://www.suaramerdeka.com/smcetak, Suara Merdeka 11 Januari 2019 hal. 4