Oleh: JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang
Sungguh layak dan membahagiakan, pantas dan menyelamatkan apabila, –idealnya-, setiap orang itu berkehendak (baik) untuk bersikap moderat. Sebutlah misalnya, Anda tiba-tiba tersinggung oleh komentar atau perkataan atau kelakuan orang lain, anak buah sekali pun; boleh saja Anda tersinggung bahkan mungkin marah.
Meskipun begitu, alangkah akan layak dan membahagiakan, pantas dan menyelamatkan jika kemarahanmu itu tidak sampai merusak, membalas membabi-buta, apalagi sampai membunuhnya.
Mengapa merusak, membalas membabi-buta atau membunuhnya itu harus dan sangat layak dihindari? Karena, begitu Anda merusak, membalas secara nekat, apalagi sampai membunuhnya, buntut permasalahannya akan amat panjangg…, dan pasti Anda sendiri yang justru nantinya akan menanggung risikonya dua atau tiga kali lipat. Sungguh layak dan membahagiakan, pantas dan menyelamatkan jika kita bersikap moderat.
Makna Moderat
Moderat itu maknanya ialah jikalau kita bersikap, berfikir, bahkan bertindak sebaiknya wajar-wajar saja dan hindarkan yang berlebih-lebihan. Jangan ekstrem, begitulah tepatnya. Seraya bersikap, berpikir, dan/atau bertindak moderat, seseorang tidaklah akan dituduh “Ah lembek, dikau;” atau “Cemen bener, loe.”
Bersikap moderat tidak akan menjadikan diri kita lemah berpendirian, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh punya harga diri dan keteguhan hati. Bertindak, bersikap dan atau berpikir moderat juga tidak akan menjadikan seseorang itu mudah kompromistis, kurang sensitif, atau bahkan tidak besar kepeduliannya terhadap segala sesuatu nilai.
Hidup selalu ada permasalahannya, dan semua permasalahan itu akan menjadikan semuanya itu layak, membahagiakan, pantas, bahkan menyelamatkan diri kita sendiri manakala kita sikapi secara moderat, wajar-wajar saja, tidak perlu ekstrem, apalagi lalu menggunakan kekerasan.
Segala macam penyelesaian masalah lewat kekerasan, pasti tidak akan menyelesaikan permalsahan itu, malahan bakal membawa serta permasalahan lain-lain. Itulah mengapa: “Lamun sira greget, apike aja gregeten; lamun sira kendel, aja kumendel; lan lamun sira wani, aja kewanen:”
Taruhlah Anda sedang sangat greget, bersemangat, hati berkobar untuk bertindak sesuatu; namun moderatlah dan jangan sampai gregeten, yaitu mangkel banget, sangat dongkol. Melakukan apa saja dalam kondisi hati ini dongkol (banget lagi), pasti orang akan tergoda untuk melampiaskan kedongkolannya.
Kumendel
Lamun sira kendel, yaitu ora jirih, berani, gagah perkasa, namun pada saat keberanian itu memuncak, gunakanlah rem-pakem dalam hati nurani ini (moderat) agar kita tidak jatuh menjadi bersikap kumendel, yaitu babat habis siapa saja karena saya pemberani dan tidak seorang pun akan bisa melawan saya. Lalu menepuk dada seraya mengacung-acungkan kepalan tangan sapa sira, sapa ingsun; siapa loe, ayo maju kalau berani. Jangan pongah seperti itu.
Hal yang mirip ialah lamun sira wani, aja kewanen. Setiap orang memiliki tingkat keberanian berbeda, ora wedi yang berbeda-beda. Dan itu wajar. Karena tingkat keberanian yang berbeda itulah maka, orang juga bisa saja berbeda dalam mengungkapkan keberaniannya yang berlebih.
Pedoman untuk bersikap moderatnya ialah, lamun ora wedi ateges wani, namun jangan berlebihan sehingga dadi kewanen. Tidaklah bagus kewanen itu karena kontrol diri bisa hilang manakala emosi menguasai diri seseorang.
Ajakan (dan ajaran?) untuk bersikap moderat menjadi semakin bergaung akhir-akhir ini lewat rumusan moderasi beragama, dan berintikan pada ajakan kepada semua pihak untuk selalu merujuk pada sikap dan perilaku mengurangi kekerasan atau keektreman dalam praktek beragamanya. Wajar-wajar sajalah.