“Hasil survei di Jakarta menunjukkan, meningkatnya aras pendidikan formal seseorang memberikan peningkatan penghasilan yang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara OECD.”
MENGACU laporan Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC) yang sudah dirilis oleh OECD (organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan), Victoria Fanggidae dari Perkumpulan Prakarsa menyuarakan keprihatinan tentang mutu sumber daya manusia Indonesia.
Victoria menunjukkan posisi manusia dewasa Indonesia (survei hanya dilakukan di Jakarta) di peringkat paling bawah dari semua negara peserta survei, yang umumnya negara maju, pada hampir semua jenis kompetensi untuk bekerja dan berkarya dalam masyarakat, seperti literasi, numerasi dan kemampuan pemecahan masalah. Telaah lebih teliti terhadap laporan PIAAC (2016) mengungkapkan sejumlah temuan menarik. OECD menyebutkan rendahnya skor literasi dan numerasi manusia dewasa Indonesia (Jakarta) tidak mengejutkan karena pembandingnya adalah negara-negara yang secara ekonomi lebih maju.
Yang unik adalah bahwa sebaran skor kompetensi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan semua negara peserta. Disparitas ini berimbas pada penghasilan. Hasil survei di Jakarta menunjukkan, meningkatnya aras pendidikan formal seseorang memberikan peningkatan penghasilan yang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara OECD.
Dalam hal ini penambahan satu standar deviasi durasi pendidikan formal (3,4 tahun) memberikan peningkatan penghasilan (per jam) sebesar 26,6 persen dibandingkan dengan peningkatan hanya 14,4 persen di negara-negara OECD. Artinya, mereka yang mengenyam pendidikan tinggi berpeluang untuk mendapatkan penghasilan yang jauh lebih baik daripada mereka yang tidak. PIAAC adalah sebuah survei internasional yang dilakukan di lebih dari 40 negara. Survei tersebut mengukur kompetensi kognitif utama dan kompetensi lain yang diperlukan di dunia kerja (workplace) agar seseorang dapat berpartisipasi dalam kemajuan ekonomi masyarakat.
Salah satu asumsi penting yang mendasari PIAAC (2016) adalah bahwa kemampuan mengelola informasi dan memecahkan masalah menggunakan komputer menjadi sebuah kebutuhan mendasar, seiring dengan semakin berperannya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam dunia kerja dan pendidikan.
Studi PIAAC secara khusus dirancang untuk mengukur sejumlah keterampilan utama dalam mengolah informasi, yaitu literasi, numerasi, dan pemecahan masalah dalam lingkungan kaya teknologi (problem solving in technology-rich environments).
Tersingkir dari Persaingan
Orang dewasa yang sangat menguasai keterampilan yang diukur dalam survei tersebut kemungkinan besar berpeluang mengambil kesempatan yang tercipta oleh perubahan teknologi dan struktur masyarakat. Mereka yang kesulitan dalam menggunakan teknologi-teknologi baru akan menghadapi risiko besar tersingkir dari persaingan.
Asumsi PIAAC ini berlaku universal, termasuk bagi lulusan perguruan tinggi Indonesia. Di tengah sejumlah kritik terhadap kinerja pendidikan tinggi Indonesia yang masih berada di bawah negara-negara lain, bahkan di kawasan ASEAN sekalipun, ternyata kita juga menyaksikan jumlah lulusan perguruan tinggi Indonesia yang bekerja di luar negeri terus meningkat.
Dalam catatan saya, lulusan Unika yang berkarier di luar negeri semakin bertambah. Banyak fakta menunjukkan bahwa berkarier di luar negeri bukan hanya terbuka bagi mereka yang studi di luar negeri dan bukan hanya bagi mereka yang menapaki karier mulai dari entry-level job di luar negeri. Ternyata peluang juga terbuka bagi mereka yang merajut karier di dalam negeri terlebih dahulu.
Dalam catatan saya, ada seorang alumnus Unika mengawali karier selama 10 tahun di sebuah kota kecil (Pati) dan kini bergabung dengan sebuah perusahaan multinasional menjadi seorang factory manager di Petaling Jaya, Malaysia. Ada juga seorang alumnus Unika yang memulai karier di Cikupa Tangerang, kemudian ke Johor Baru, lantas ke Singapura. Saya juga mengenal seorang yang menjalani pendidikan universitas di Undip yang setelah berkarier cukup lama di Thailand, kini di Swedia.
Kita perlu menyadari bahwa kompetensi dibentuk sejak di kampus dan terus dikembangkan ketika berkarier di perusahaan atau organisasi. Itulah esensi life long learning (belajar sepanjang hayat), dan perguruan tinggi sebenarnya punya mandat untuk mempersiapkan individu yang siap dan mampu terus mempelajari hal-hal baru sesuai dengan dasardasar pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh di kampus, serta sekaligus dia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja dan masyarakat. Yang terakhir ini dikenal sebagai sebagai soft skills atau transferrable skills, yang dapat dimaknai sebagai keterampilan yang dapat dilatihkan atau diakuisisi oleh siapa saja.
Di samping terus mengembangkan keterampilan atau kompetensi seseorang yang ingin sukses berkarier dituntut punya kemampuan lain, yaitu keterampilan memperkenalkan diri (to make yourself heard). Dalam hal ini, literasi dalam teknologi informasi dan komunikasi amat penting. Kemampuan untuk memanfaatkan jejaring sosial, seperti LinkedIn dan sejenisnya, sangat krusial untuk memperkenalkan kompetensi seseorang.
Dewasa ini kegiatan untuk memburu talenta- talenta hebat di dunia profesional (head hunting) sudah sangat jamak dan bahkan telah menjadi salah satu bagian tidak terpisahkan dari perkembangan dunia bisnis dan industri global. Selain itu pemanfaatan internet tidak terbatas hanya pada mereka yang ingin berkarier sebagai profesional.
Bagi mereka yang bekerja di dunia seni dan desain, termasuk animasi, memperkenalkan karya melalui internet adalah salah satu cara paling efektif untuk menembus pasar global. Begitu pula bagi mereka yang berniat untuk berwirausaha, internet memberi ruang bagi produk dan kreativitas pemasaran (e-commerce) yang nyaris tanpa batas. Singkatnya, fenomena ìthe world is flatî yang dikemukakan oleh Thomas LFriedman (2005) satu dekade lalu, kini sudah menjadi sesuatu yang lazim.
Kegiatan global outsourcing untuk call center, kontrak produksi, jasa akuntansi, analis kesehatan, jasa pendidikan dan sebagainya, yang dulu hanya berlangsung di Tiongkok, India, dan Filipina, kini telah menyebar di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia.
Fakta di atas bisa jadi menunjukkan bahwa sebenarnya kita mesti lebih percaya diri dalam menilai mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu globalisasi memang sudah hadir dan berhasil menjebol batasbatas antarnegara. Maka pesan yang dapat disampaikan kepada para mahasiswa adalah ìsiapa pun Anda, lulusan mana pun Anda, yang penting adalah kompetensi Anda (you are what you are good at)î. Di manapun Anda berkarier, selama Anda terus mengembangkan kompetensi khas dan unggul, maka peluang selalu terbuka di berbagai belahan dunia. ( http://berita.suaramerdeka.com, Suara Merdeka, 30 November 2016 hal. 4 )
________________________
Prof Dr. Y. Budi Widianarko,
Rektor Universitas Katolik Soegijapranata Semarang,
Anggota Dewan Riset Daerah Jateng