Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, Pastor Kepala Campus Ministry Unika Soegijapranata
SEBAGAIMANA dirilis di Tribunnews.com (Senin, 6 Desember 2021 18:23 WIB), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI, representasi Gereja Kristen Katolik) bersama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI, representasi Gereja-Gereja Kristen Protestan) mengeluarkan pesan Natal 2021. Tema pesan Natal 2021 yang masih dirayakan Umat Kristiani, apa pun denominasinya, dalam masa pandemi Covid-19 adalah Cinta Kasih Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan. Secara alkitabiah, tema tersebut terinspirasi oleh pesan Santo Petrus dalam suratnya yang pertama bab 1 ayat 22. Dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia sehari-hari, selengkapnya pesan itu demikian: “Karena kalian taat kepada ajaran dari Allah, maka kalian membersihkan diri dan kalian mengasihi orang-orang seiman secara ikhlas. Sebab itu, hendaklah kalian mengasihi satu sama lain dengan sepenuh hati” (1Ptr 1:22).
Suasana pesan tersebut tampaknya masih sangat eksklusif internal di antara orang-orang seiman. Namun, bila pesan tersebut dibaca dalam konteks masyarakat manusia, khususnya di negeri ini, maka, terpancar pula warna inklusif. Di Indonesia, kendati masyarakat manusia berbeda-beda dalam hal agama, namun semua dipersatukan oleh iman yang sama sesuai Sila Pertama Pancasila, yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang berbeda-beda adalah agama dan kepercayaannya.
Persaudaraan universal
Itulah sebabnya, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), persaudaraan berdasarkan Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, persaudaran itu bernilai universal. Artinya, persaudaraan mencakup siapa saja, apa pun agama dan kepercayaannya. Persaudaraan universal tersebut mewujud dalam kemanusiaan yang adil dan beradab (Sila Kedua Pancasila), persatuan Indonesia (sila ketiga), demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima). Karena itu, kalau ada perbedaan, sesuai sila keempat, mestinya dihadapi dengan musyawarah demi mencapai mufakat dengan hikmat dan kebijaksanaan. Tak perlu terjadi gontok-gontokan!
Semangat persaudaraan dengan saling “mengasihi dengan segenap hati dalam kasih persaudaraan yang tulus dan ikhlas melalui tindakan belarasa” itulah yang disampaikan dalam pesan Natal 2021. Bagi umat Kristiani, Yesus Kristus yang dirayakan kelahiran-Nya pada hari Natal haruslah mendorong kehidupan mereka untuk mencari jalan-jalan baru yang kreatif. Tujuannya tidak lain adalah agar selalu dapat saling mengasihi, mewartakan keadilan dan membawa damai sejati dalam kehidupan bersama di tengah keberagaman. Dalam bahasa kebangsaan kita, itulah yang disebut bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu juga.
Natal 2021 yang masih dirayakan di tengah masa pandemi Covid-19 disyukuri dengan sukacita. Bersama sebagai bangsa, kita bersyukur sebab di masa pandemi ini kita semua disadarkan atas jatidiri dan identitas kita semua bahwa torang bersaudara. Kita semua adalah saudari dan saudara dalam keberagaman yang saling menghargai dan menghormati. KWI-PGI menegaskan, “Dalam situasi ini, falsafah hidup persaudaraan sebagai karakter khas orang Indonesia menjadi semakin bermakna dan semakin mendesak untuk dibatinkan dan wujudkan. Sebagai saudari dan saudara semua diharapkan untuk saling menunjukkan kasih dalam aksi nyata.”
Kompetensi etis
Pesan Natal 2021 KWI-PGI mengajak kita semua mengembangkan semangat bela rasa (compassion). Bela rasa bukan sekadar soal rasa-perasaan, melainkana menyangkut kompetensi etis dalam mengedepankan belas kasih dan kasih sayang kepada semua orang, terutama mereka yang paling menderita dan tertindas. Dalam bahasa Indonesia, kata compassion sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut multi-makna. Bisa berarti bela rasa, kemurahan hati, dan belas kasih (Suharyo, 1987). Pada umumnya, terjemahan compassion dalam bahasa Indonesia adalah iba, kasihan, rasa sayang, (ke)haru(an). Bila dilacak dari akar kata dalam bahasa Latin, con + patire, passio, patior = compassio, ada makna penderitaan (suffering) dalam compassion. Maka, dalam bahasa Latin, compassio secara harafiah berarti menderita dengan atau menderita bersama. Saat kita memiliki compassio(n), maka, kita berada dengan dan bersama seseorang, siapa saja atau bahkan apa saja, yang merasa sakit dan menderita. Atau, kita merasakan compassio(n) dari seseorang, ketika kita merasa sakit dan menderita, seseorang ada dan hadir menyertai kita dengan segala perhatian, kepedulian, dan kasih sayangnya.
Dalam arti itulah, bela rasa terkait erat dengan kompetensi etis. Lebih dari sekadar rasa-perasaan, bela rasa merupakan kemampuan moral (etis) untuk ada bersama siapa saja yang sedang mengalami penderitaan, kesulitan, dan kesakitan. Bela rasa lantas menyangkut tindakan, sikap, dan perilaku yang dilandasi keprihatinan. Keprihatinan, kalau dibaca secara lambat akan berbunyi keperihatinan. Ada hati yang perih dan pedih melihat, merasakan, dan mengalami penderitaan sesama. Dari situlah muncul kepedulian, solidaritas, dan kesetiakawanan.
Dalam spirit Natal, perayaan kelahiran Yesus Kristus, bela rasa, kepedulian, solidaritas, dan kesetiakawanan merupakan conditio sine qua non, mau tidak mau harus menjadi karakter dasar siapa pun yang merayakannya. Natal tanpa bela rasa dan persaudaraan tak lebih dari gelembung hampa tanpa makna. Lebih buruk bahkan bila diwarnai hura-hura, jor-joran! Selamat Natal bagi yang merayakannya!
► https://jateng.tribunnews.com/2021/12/22/opini-aloys-budi-purnomo-pr-natal-dalam-persaudaraan?page=all.
Tribun Jateng 22 Desember 2021 hal. 2