Pemerintah diminta serius mengoperasikan bus rapid transit (BRT) di daerah karena ada pengoperasian moda transportasi tersebut di sejumlah daerah yang belum berjalan dengan optimal.
Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan hingga saat ini ada 20 kota atau perkotaan yang mengoperasikan transportasi umum dengan bus transit tersebut (lihat tabel). Namun tidak sedikit yang armadanya berkurang, bahkan ada BRT di daerah yang sudah tidak dioperasikan lagi.
“Di Manado dan Gorontalo, sudah tidak beroperasi lagi. Sementara di Balikpapan yang semula mengoperasikan empat armada, sekarang tinggal satu bus yang beroperasi,” kata Djoko, Minggu (21/8).
Dia menduga gairah kepala daerah untuk mengembangkan moda transportasi umum jenis tersebut masih rendah. Sementara peran pemerintah pusat lebih banyak hanya sekadar memberi bantuan sejumlah armada.
“Terkadang jumlah armada untuk satu koridor saja masih kurang. Harapannya, kekurangan tersebut ditambahkan oleh Pemda,” ungkapnya.
Namun dalam kenyataannya, dia mengemukakan, jumlah armada yang diberikan oleh pemerintah pusat tersebut berkurang bahkan ada yang gulung tikar. “ Trans Batam yang mulai dioperasikan pada 2004, kini tidak menunjukkan pelayanan yang signifikan,” tuturnya.
Djoko menilai pemda yang telah mengoperasikan BRT hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Hanya dua pemda yang serius urus transportasi, yakni Pemprov, DKI Jakarta dan Pemkot Surakarta. Hal ini terlihat dari besaran prosentase yang dianggarkan kepada Dinas Perhubungan setempat. “Rata-rata sudah di atas 3% dari APBD nya,” sambungnya.
TIDAK DIBUTUHKAN
Menurut Djoko, bantuan armada dari pemerintah pusat sejatinya tidak dibutuhkan. Jika pun ada bantuan hanya diberikan sebagai insentif awal. Malah bantuan sejumlah armada itu menjadi jika pemerintah daerah tidak mengalokasikan dana subsidi untuk operasional BRT. “Anggaran paling besar untuk mengoperasikan BRT adalah biaya operasional.”
Oleh sebab itu, dia menyatakan pemerintah perlu segera meluncurkan PSO Transportasi Umum Berbasis Jalan untuk membantu operasional SAUM di daerah. Di samping itu, untuk lebih mengikat kepala daerah, diperlukan SKB antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Dalam Negeri.
Djoko mengatakan subsidi tidak hanya berasal dari pemerintah tetapi bisa diperoleh dari swasta. Jika belajar dari kota-kota di Prancis, pengguna BRT hanya membayar 20%, sisanya disubsidi dari pemerintah 40% dan swasta 40%.
“Bahkan di Kota Lion, subsidi ditanggung perusahaan swasta. Pemda tidak memberikan subsidi, hanya sebagai regulator saja,” jelasnya.
Kementerian Perhubungan pada 2015 memiliki program pengadaan 1.000 BRT, kemudian mulai 2016 hingga 2019 pengadaannya sebanyak 500 bus per tahun.
Djoko menekankan penguatan sistem kelembagaan, pemanfaatan IT dan peningkatan SDM yang akan mengelola bus harus diberikan ke daerah, agar program tersebut tidak mubazir. Jika hal tersebut tidak dijalankan, maka bantuan armada BRT ke daerah hanya sekadar memenuhi kewajiban.
“Dengan demikian tidak ada upaya melakukan inovasi dan kreasi dalam upaya menarik pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum,” tuturnya.
Tautan : http://koran.bisnis.com