Oleh Berta Bekti Retnawati
Kepala LPPM dan Dosen FEB Unika Soegijapranata
Pemilu serentak sudah di ambang pintu, dalam hitungan jam hajatan besar negeri ini akan memastikan siapa nahkoda kapal besar Indonesia untuk lima tahun ke depan. Termasuk di dalamnya adalah memilih wakil rakyat dalam pemilihan legislatif. Pemilu 2019 ini hampir sepenuhnya menguras perhatian dan fokus pembicaraan seluruh warga bangsa akhir-akhir ini.
Namun toh demikian tingginya perhatian masyarakat tidak serta merta menjamin kesediaan para pemilih menggunakan hak berpolitik untuk memilih (baca: mencoblos). Cukup banyak pengamat memprediksi Pemilu tahun ini masih disertai ancaman jumlah golput yang tinggi.
Dinamika golput dari Pilpres tahun 2009 adalah 28,3%, tahun 2014 menurun menjadi 24,8%, prediksi untuk tahun 2019 adalah sejumlah 20% partisipan pemilih akan ada di kelompok ini. Cukup tinggi memang meski diperkirakan menurun dari periode sebelumnya.
Mengapa kelompok golput tinggi, menilik dari pendapat Grant M. Hayden dalam Connecticut Law Review Desember 2010 berjudulAbstention: The Unexpected Power of Withholding Your Vote di mana pilihan golput terjadi karena adanya tendensi pemilih yang apolitis. Ada kandidat dengan karakter dan program yang jauh dari titik ideal kelompok golput ini.
Meski secara hukum menjadi golput adalah sah, karena dijamin pada Pasal 28 UUD dan Pasal 23 UU tentang HAM yang berbunyi :"(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa."
Alasan lain yang di luar konteks teori yang ada, golput tahun ini masih tinggi karena ada masa libur beberapa hari yang memungkinkan banyaknya masyarakat memilih berlibur, survei Center for Strategic and International Studies sebanyak 7% dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) atau sekitar 13 juta orang akan berencana pergi berlibur saat 17 April 2019. Kondisi ini mengisyaratkan data golput patutlah disayangkan, mengingat semakin banyak partisipasi pemilih menggunakan haknya akan meningkatkan legitimasi hasil pemilu itu sendiri.
Masih bisakah jumlah golput ini diminimalkan dan ditingkatkan jumlah partisipasi pemilih untuk menggunakan hak politiknya? Masih ada yang bisa dilakukan oleh para warga masyarakat yang sudah bersedia untuk aktif mencoblos dengan mengajak dan mempersuasi teman, kolega, keluarga, tetangga, dan siapapun untuk bersikap seperti dirinya.
Bila menilik dari teori perilaku konsumen, terutama tentang gaya hidup, kelompok golput bisa didekati dan dipahami dalam konteks bagaimana seseorang memanfaatkan waktu yang dimilikinya dengan apa yang mereka anggap penting dalam lingkungan dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitar mereka. Gaya hidup menjadi suatu konsep yang lebih komprehensif dan kontemporer dibandingkan kepribadian.
Upaya memahami konsepsi gaya hidup itu sendiri harus dilakukan dengan perhatian yang besar. Sejalan dengan pendapat Plummer dan Assael dalam memahami perilaku konsumen khususnya dalam mengevaluasi gaya hidup, ada tiga hal yang bisa dipakai untuk memahaminya. Apa yang mereka rasakan, bagaimana sikapnya dan apa opini mereka terhadap berbagai fakta kehidupan.
Gaya hidup menjadi gambaran bagaimana seseorang mengekspresikan diri dalam melihat dan memanfaatkan kehidupan, serta merefleksikan nilai, rasa dan kesukaan. Faktor psikologi dan sosial akan sangat membentuk gaya hidup sesesorang termasuk dalam hal ini adalah menjadi golput atau tidak. Sikap adalah salah satu bagian dari faktor psikologi, yakni suatu keadaan seseorang untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisasi melalui pengalaman dan mampu mempengaruhi secara langsung pada perilaku.
Pengalaman dan pengamatan juga membentuk faktor psikologi seseorang yakni serangkaian kehidupan masa lalu yang pernah dialami seseorang. Sedangkan dalam faktor sosial akan sangat dipengaruhi oleh kelompok referensi dan keluarga dalam membentuk perilaku seseorang. Interaksi seseorang dengan siapapun baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada cara pandang sesorang untuk membentuk gaya hidup.
Menjadi tugas bersama semua stakeholder di negara ini, masyarakat dan pemerintah untuk bergerak mengajak mereka yang masih ingin golput dengan alasan apapun,untuk menjadikan sikap politik sebagai pemilih adalah suatu gaya hidup. Peran seseorang harus disadarkan bahwa satu langkah kecilnya untuk menuju bilik suara dan menentukan pilihan pada kontestan pemilu adalah awal yang tepat dengan memberi mandat pada pihak yang dipercayainya menata kehidupan berbangsa ini.
Kelompok masyarakat yang masih menjadi pemilih mengambang (swingvoters) pun juga harus disadarkan untuk bersegera aktif memilih dan menjatuhkan pilihan yang paling tepat menurut dirinya. Menentukan pilihan politik didasari kesadaran tinggi bahwa hak sebagai warga negara akan terpenuhi dengan memberi mandat pada yang diberi kepercayaan.
Bersama menjadikan pilihan tidak golput sebagai suatu gaya hidup akan memberi asa dan energi besar bahwa bangsa ini adalah kepunyaan bersama yang sudah semestinya dijaga dan aktif memilih mereka yang kita percaya membawa negeri ini menjadi semakin lebih baik. Selamat mencoblos.
►http://jateng.tribunnews.com, Tribun Jateng Sabtu, 13 April 2019 hal. 2