Dosen Hukum Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Marcella Elwina Simandjuntak menjelaskan, ada beberapa sebab orang melakukan tindakan korupsi seperti jual beli jabatan. Satu diantaranya adalah faktor kebutuhan dan adanya kesempatan.
Seorang pemangku jabatan bisa saja berbuat curang apabila gaji yang diperolehnya kurang. Ditambah lagi realita di lapangan yang menyebut bahwa, biaya politik untuk menjadi kepada daerah di Indonesia sangat tinggi.
Sehingga satu-satunya jalan adalah dengan berbuat curang, seperti jual beli jabatan atau perizinan.
"Cukup tidak gaji. Realitanya biaya politik sangat tinggi, setelah itu mereka dihadapkan pada hubungan rumit antara pejabat dan parpol pendukung yang juga semakin memperkeruh suasana. Iya kalau diusung satu porpol, kalau banyak? Maka biaya yang dikeluarkan juga besar. Untuk jadi Bupati saja butuh Rp 30 miliar, gaji jelas tidak mencukupi," kata Marcella, ahli hukum pidana, pekan lalu.
Wanita yang juga sebagai perancang pendidikan antikorupsi Kemenristek Dikti ini menilai, perlu dibuat aturan untuk memperkecil ruang korupsi. Misal dengan pelayanan model online atau whistleblower system. Sebab diberikannya hukuman mati sekalipun belum menjamin bisa memberangus praktik korupsi.
"Pakar pendidikan juga bingung, sebab dari bangku TK sudah dibekali pendidikan agama, pendidikan nasionalisme. Tapi sepertinya hanya untuk hafalan saja. Menurut saya, penumbuhan budaya malu itu menjadi penting," imbuh Dosen Prespestasi Tingkat Jateng 2014 itu.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Teguh Yuwono mengungkapkan, praktik jual beli jabatan terjadi karena kekuasaan yang terakumulasi di kepala daerah, membuat tidak ada kontrol sehingga mengakibatkan penyelewengan kekuasaan.
"Ditambah sifat serakah seorang pemimpin membuat korupsi merajalela. Suap jabatan terjadi karena kesepakatan diam-diam yang berorientasi mencari kekuasaan secara instan," kata Teguh.
Ia menilai, praktik jual beli jabatan ini bisa diminimalisir, caranya dengan penegakan hukum yang keras dan tegas. Semua harta hasil korupsi disita atau pelaku dimiskinkan. Selain itu, sistem pilkada harus didesain murah dan berkualitas dan dijaga tanpa adanya praktik politik uang. (http://jateng.tribunnews.com)