Kejadian kecelakaan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang di Kagok, merupakan akumulasi buruknya pengelolaan BRT. Bahkan, sudah banyak keluhan penumpang BRT di media sosial, maupun pemberitaan.
Pakar transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan meski banyak keluhan namun kurang mendapat tanggapan serius dari Pemkot Semarang. Apalagi, jika benar infonya uji laik kendaraan atau kir ternyata sudah habis dan belum diperbahurui, berarti ada kelola manajemen yang salah dan pengawasan yang lemah.
"Karena itu, saya minta Pemkot menurunkan tim investigasiuntuk mengetahui lebih rinci dan bisa diketahui pemetaan masalah sehingga dapat dicarikan solusinya," kata Djoko kepada Tribun Jateng melalui whatsapp, Selasa (19/7/2016).
Djoko menuturkan, tujuan adanya BRT yaitu agar berbeda dengan angkutan biasa yang tidak dapat subsidi dan sistem setoran. Dengan BRT, dapat menghilangkan sistem setoran dan sopir dapat gaji tetap bulanan.
"Karena sudah dapat subsidi, tidak boleh dikelola asal asalan. Manajemen harus profesional dan ada pengawasan. Kan sudah ada SPM Penyelengaraan Angkutan Umum sebagai pedoman untuk pengawasannya," tuturnya.
Lebih lanjut Djoko mengutarakan, BRT sejak awal digadang menjadi transportasi umum yang lebih aman dan mengutamakan keselamatan. Namun, pengelola atau manajemen tidak akan bisa memberikan jaminan itu jika tidak memberi pelayanan yang baik.
Jika tidak ada jaminan keselamatan, menurutnya, warga dipastikan takut naik BRT. Tidak hanya itu saja, kejadian kecelakaan itu justru bisa jadi preseden buruk pengelolaan transportasi umum di Kota Semarang.
"Kejadian ini harus diusut tuntas. Jangan karena uang urusan jadi terbuang. Polisi jangan segan jika berhadapan dengan operator yang punya pengaruh cukup besar di Jawa Tengah. Penyidikan harus transparan demi kebaikan," desaknya. (*)
Tautan : http://jateng.tribunnews.com