Opini ditulis oleh Aloys Budi Purnomo
(Kepala Campus Ministry dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang)
Keterkaitanpangan dan kepekaan ekologis sangat jelas diwartakan sejak Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memeringati 16 Oktober sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Urgensi HPS mendapatkan konteks yang kuat, ketika paradigma manusia, khususnya para pemimpin politik kita kehilangan kepekaan ekologis dan cenderung menjadikan alam sebagai objek untuk dieksploitasi yang mengakibatkan terjadinya krisis ekologi yang tak kunjung henti.
Tanpa disadari, tata kelola sosio-ekonomi-politik telah membuat manusia terjebak dalam bunuh diri secara ekologis. Di masa lalu, delapan persoalan ekologis selalu menjerat kehidupan dan mengancam masa depan kemanusiaan. Delapan persoalan ekologis tersebut berupa deforestasi (pembalakan hutan) dan perusakan habitat, masalah tanah yang mencakup erosi, salinisasi, kehilangan kesuburan tanah humus, pengelolaan air, perburuhan berlebihan (overhunting), penangkapan ikan berlebihan (overfishing), efek spesies buatan pada spesies asli, pertumbuhan populasi manusia, peningkatan dampak per kapita orang (Diamon, 2005).
Ketika problem masa lalu masih menjerat dan membuat kehidupan manusia terjepit sertabelum teratasi, muncul ancaman baru yang lebih canggih dan kompleks sebagai problem lingkungan saat ini. Kita bersama-sama digelisahkan dan dicekam oleh fakta perubahan iklim yang akibat perilaku manusia kapitalis yang konsumtif dan eksploitatif, penumpukan bahan kimia beracun di lingkungan, kekurangan energi, dan pengerukan kapasitas fotos intesis bumi.
Kian sempurnalah problem ekologis yang dihadapi manusia yang mengancam kesejahteraan hidup bersama. Salah satu indikasi kesejahteraan manusia paling esensial adalah tercukupinya kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan sangat tergantunng ketersediaan lahan dan jerih payah para petani yang selama ini sering terpinggirkan di kancah kapitalisme global dan era industrialisasi yang merusak lingkungan alam.
Di sinilah, urgensi peringatan HPS yang diserukan FAO PBB pantas menjadi perhatian kita bersama. Mungkin kita bertanya, apa hubungannya antara pangan, kerusakan lingkungan atau sering disebut krisis ekologi dan sikap peduli kemanusiaan? Kerusakan alam dan perlindungan lingkungan hidup merupakan aspek integral isu perkembangan dan pembangunan berkelanjutan. Secara ekoteologis (yakni teologi yang ramah peduli lingkungan hidup), perjuangan menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup serta melawan kelaparan menuntut solidaritas yang lebih kuat di era paradigma kapitalisme dan industrialisasi global.
Penggunakan semena-mena sumberdaya (potensi) alam yang tersedia sangatlah merugikan sumber primer energi dan sumberdaya serta lingkungan alam pada umumnya. Di sinilah, tanggungjawab moral dipertaruhkan sekaligus menjadi tuntutan bagi para pemimpin sosio-ekonomi-politik. Tindakan semena-mena mengeruk sumber daya alam mengabaikan hak generasi masa depan yang membutuhkan kesejahteraan.
Para pemimpin sosio-ekonomi-politik harus menyadari bahwa kegiatan ekonomi memuat tanggungjawab moral untuk menggunakan sumberdaya alam ini secara rasional. Kerusakan akibat eksploitasi alam atas nama kepentingan ekonomi harus diperbaiki dan lebih baik pula mencegah setiap akibat negatif dengan mengendalikan hasrat konsumtif mengeruk sumber daya alam sebanyak-banyaknya hanya demi mengejar pertumbuhan ekonomi sesaat. Apalagi mengabaikan hak generasi masa depan yang juga membutuhkan kesejahteraan.
Kita bersyukur bahwa dewasa ini telah terjadi peningkatan kesadaran akan solidaritas ekologis. Dalam perspektif ekologis, tak ada satu pun tindakan kita yang tidak terkait dengan pihak lain baik secara abiotik, biotik maupun budaya kemanusiaan. Inilah yang disebut interdependensi ekologi yang bersumber dari sikap peduli pada kemanusiaan, keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup.
Salah satu bentuk nyata keterkaitan pangan dan sikap peduli kemanusiaan sebagai ekspresi interdependensi ekologis tampak dari seruan yang disampaikan Paus Fransiskus. Dalam rangka peringatan HPS 2018, Paus Fransiskus menyerukan agar kita berbuat lebih banyak dalam membela orang miskin dan hidup lebih hemat. Caranya sederhana saja. Habiskan makananmu. Jangan ada yang tersisa satu butir pun. Mengapa? Berdasarkan data dari Organisasi Pangan Dunia (WFP) setiap tahun sebanyak 1,3 miliar sisa makanan dibuang begitu saja. Jumlah ini sama dengan sepertiga dari jumlah makanan yang diproduksi dunia selama satu tahun.
Sikap tak bertanggungjawab membuang makanan membuat kita kehilangan kepekaan pada sesama dan semesta. Kebiasaan ini sangat menjijikkan di saat banyak orang dan keluarga di seluruh dunia masih kelaparan dan kekurangan gizi lalu dengan mudah kita membuang makanan. Perilaku itu tak ubahnya mencuri makanan dari meja orang miskin yang kelaparan. Mari kita membangun solidaritas ekologis dan sikap peduli sesama dan semesta.
► https://jateng.tribunnews.com/2019/10/09/opini-aloys-budi-purnomopangan-dan-kepekaan-ekologis.