Oleh: Dr. Christin Wibhowo, S.Psi., MSi., Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata
ISTILAH ghosting ramai dibicarakan sejak awal tahun 2020. Ghosting adalah istilah untuk menyebut suatu perilaku yang tiba-tiba menghilang padahal masih berada dalam satu hubungan dengan pihak lain. Banyaknya lagu-lagu yang menceritakan tentang ghosting, menambah popularnya istilah tersebut.
Sebut saja lagu dengan lirik "ditinggal pas lagi sayang-sayange" yang dinyanyikan oleh beberapa penyanyi Tanah Air dengan berbagai versi. Unika Soegijapranata juga sudah menyelenggarakan seminar online dengan tema "ghosting", pada bulan Juli 2020. Sejak awal bulan Maret 2021, istilah ghosting kembali menjadi sorotan karena adanya berita tentang keluarga terkenal yang membagikan keluhannya terkait dengan anak perempuannya yang di-ghosting pacarnya.
Sebenarnya, bagaimana cara pengasuhan yang tepat agar anak tidak di-ghosting? Pertama, sampaikan kepada anak-anak bahwa berpacaran itu masih memiliki kesempatan untuk lanjut atau putus. Berani pacaran berarti berani menahan kesedihan untuk putus. Oleh sebab itu, anak harus tetap mandiri dan terus berprestasi sendiri, walau sudah punya pacar.
Tidak perlu terlibat dalam bisnis pacar, membelikan rumah atau menabung bersama. Jika hal-hal seperti itu dilakukan sebelum menikah, maka akan membuat pacar merasa diikat sebelum waktunya. Ketika si pacar merasa tidak ingin melanjutkan hubungan pacaran, maka ia akan galau untuk menemukan cara untuk putus. Akhirnya, ia memilih untuk menghilang.
Kedua, ajarkan kepada anak-anak untuk peka terhadap tanda-tanda bahwa dia sudah bukan menjadi prioritas dalam kehidupan seseorang. Biasanya ghosting dilakukan karena ghoster merasa sudah memberi tanda-tanda ingin putus, namun dibaikan. Dengan begitu, jika anak mengeluh karena pacarnya tidak lagi cepat dalam menjawab pesan/ teleponnya dan sering membatalkan janji bertemu dengan berbagai alasan, maka orang tua tidak perlu menghibur anak dengan kata-kata " sabar saja, mungkin dia sedang sibuk."
Namun, sampaikan kepada anak untuk segera menyiapkan diri agar tidak menjadi ghostee (korban ghosting). Caranya yaitu mulailah fokus pada kegiatan lain yang lebih menunjang prestasi dan membuka diri untuk membangun jejaring yang lebih luas.
Ketika, ketika anak mulai menjalin hubungan dengan pacarnya, orang tua tidak perlu sok akrab hingga menganggapnya sudah sebagai calon menantu. Sebelum ada proses lamaran, maka belum ada istilah calon mantu. Orang tua yang sok akrab dan sok kepo dengan hubungan pacaran anaknya, akan membuat si pacar menjadi terbeban dalam masa penjajagan ini.
"Aku lagi penjajagan kok ortunya sudah serius banget ya?" Saat dia merasa tidak lagi cocok dengan anak, maka ia akan bingung cara menyampaikan keinginannya. Maka daripada pusing, ia memilih menjadi ghoster. Tentu saja ini akan membuat anak jadi merana.
Keempat, bagaimana kalau anak sudah terlanjur menjadi ghostee? Ghostee seringkali kehilangan rasa percaya diri dan merasa insecure karena peristiwa ghosting. Oleh karena itu, orang tua harus menguatkan hati anak: Peluk dia dengan hangat, ajak berlibur dan hati. Akan tetapi dipu-melakukan hobi. Sampaikan kepada anak bahwa keluarga sangat menyayanginya. la sangat berharga bagi keluarga. Yakinkan kepada anak bahwa yang seharusnya bermasalah itu adalah ghoster, bukan dia. Jadi orang tua harus lebih berfokus kepada anak, bukan kepada ghoster. Hindari mengeluh di media sosial karena justru akan membuat anak semakin sulit melupakan kenangan ini.
Kelima, dukunglah anak untuk -minimal- memiliki satu prestasi yang ia banggakan. Bisa dari bidang akademis, bidang seni atau hobi. Prestasi di suatu bidang, akan membuat anak memiliki rasa percaya diri. Rasa pede yang dimiliki anak akan membuat dia bisa tegas dalam berperilaku dan berbicara, sehingga terkesan berdaya. Ghoster tidak akan memiliki nyali untuk meng-ghosting orang yang percaya diri. Karena sebenarnya ghoster adalah orang yang minder.
Keenam, orang tua perlu memberi wawasan kepada anak tentang berbagai cara orang untuk memutuskan hubungan. Yaitu misalnya dengan mencari-cari masalah, dengan konfrontasi (mengajak bertengkar) , dengan mediasi (perantara orang lain) dan dengan cara ghosting. Apapun caranya, akan membuat orang yang diputus menjadi luka hati. Akan tetapi diputus dengan cara ghosting akan membuat anak jadi mudah lupa dengan mantan pacar, karena tidak ada lagi jejak baiknya. Dengan begitu anak tetap bisa bersyukur walau di tengah ‘badai’.
Lalu bagaimana jika justru anak yang menjadi ghoster berulang kali? Jika dia termasuk orang yang minder, cemas dengan aktivitas sosial dan takut untuk berkomitmen (gangguan kepribadian cemas-menghindar/avoidant personality) segera ajak dia ke psikolog. Jangan sampai suatu saat keadaan menjadi terbalik, yaitu ia yang menjadi ghostee. Putus tanpa alasan itu benar, namun menjadi ghoster, jelas salah! Bagaimana kalau dia mengaku sudah mengajak putus namun pacar terus menerus meneror menolak diputus? Dalam kasus begini, demi kenyamanan semua pihak, memang tampaknya perlu dilakukan ghosting.
sumber: Tribun Jateng 16 Maret 2021 halaman 2