Oleh Marcella E Simandjuntak
PEMBERANTASAN korupsi di Indonesia perlu dilakukan secara gencar. Hukum hanya salah satu cara memberantas korupsi, yang terpenting adalah membangun sistem yang berintegritas. Pada Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember ini, Dekan Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Unika Soegijapranata Semarang Dr Marcella Elwina Simandjuntak SH CN MHum mengajak masyarakat berperilaku tidak koruptif dan menghindari korupsi. Berikut wawancara dengan Marcella, kontributor penyusun modul antikorupsi untuk SD, SMP, dan perguruan tinggi.
Bagaimana indeks persepsi korupsi saat ini?
Indeks persepsi korupsi berdasarkan data Transparency International menempatkan Indonesia pada posisi 96 dari 102 negara saat dilakukan survei pada 2002. Angka Corruption Perceptions Index (CPI) 1,9. Hal ini sangat ironis, karena Indonesia yang telah mengalami masa reformasi kenyataannya malah menjadi negara terkorup ke-96. Terlebih lagi, Indonesia negara yang damai. Biasanya suatu negara itu korup karena ada konflik, entah itu karena masalah dalam negeri atau perang.
Pada 2011 berangsur membaik, CPI Indonesia mendapatkan nilai 3,0 dan berada di peringkat 100 dari 183 negara yang disuryei. CPI 2017 tercatat 3,7 dan Indonesia di posisi 96 dari 176 negara. Selanjutnya pada 2018, CPI naik jadi 3,8 sekaligus menempatkan Indonesia di posisi 89 dari 180 negara tersurvei. Jadi, saya pikir negara ini sudah berada di trek yang benar. Ada perubahan dan membaik. Namun, masih kalah dibandingkan Malaysia dengan. CPI 4,7 dan Singapura 8,5.
Bagaimana upaya mendidik masyarakat supaya bersikap antikorupsi?
Korupsi ini masalah kompleks, sehingga kompleksitas itu harus diatasi dari upaya memberantasnya. Sesuatu yang kompleks, tidak bisa diatasi dengan cara sederhana. Ada empat alasan korupsi, yakni terdesak kebutuhan, ketamakan, ada kesempatan, dan korupsi sistemik. Terdesak kebutuhan, misalnya ada pegawai yang ingin berlibur karena gaji tidak cukup sehingga melakukan korupsi. Ketamakan ini tipikal orang yang punya uang berapa pun, tapi masih tetap kurang.
Korupsi juga terjadi karena ada kesempatan, hal ini bisa diatasi dengan membangun sistem berintegritas. Paling membahayakan korupsi sistemik, di mana negara membuat sistem sedemikian rupa sehingga menjadikan perilaku masyarakatnya koruptif. Kompleksitas ini dapat diatasi dengan segala cara dengan melibatkan semua elemen. Jadi, negara tidak bisa bergerak sendiri.
Sistem penegakan hukum perlu dilakukan dengan baik, di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai lembaga pemasyarakatan.
Perlu keterlibatan LSM dan media yang bersih. Parlemen dan perguruan tinggi juga berperan penting. ICP Indonesia naik karena kinerja KPK. Negara ini memang masih membutuhkan lembaga tersebut, lain halnya Singapura yang punya nilai ICP tinggi.
Apa upaya untuk menggugah peran generasi milenial?
Generasi milenial ini khas, mereka tidak lepas dan telepon seluler. Karena itu, KPK atau lembaga antikorupsi lainnya bisa membantu mereka agar lebih peduli terhadap bahaya korupsi. Hal ini bisa memanfaatkan media, caranya dengan membuat apa yang disukai anak-anak sekarang, misalnya lomba film, cerita pendek, poster, foto cerita, atau lewat Instagram. Juga bisa melalui buku elektronik atau film yang menarik. Film perlu dibuat dramatis dengan alur cerita menarik. Ini penting supaya anak-anak tahu bahwa perbuatan korupsi itu tidak benar, sehingga mereka tak akan meniru.
Bagaimana di lembaga pendidikan?
Menumbuhkan jiwa dan budaya antikorupsi perlu dilakukan sejak sekarang. Sebab, membangun generasi bersih korupsi itu sangat sulit. Butuh waktu puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun untuk mewujudkan hal tersebut. Upaya itu bisa dilakukan sejak kecil melalui pendidikan karakter dan penanaman integritas. Pendidikan itu tak harus di ranah pengetahuan, tapi juga afeksi dan psikomotorik.
Perlukah pembelajaran antikorupsi masuk ke sekolah atau perguruan tinggi?
Perlu. Namanya tidak perlu pendidikan antikorupsi. Pendidikan budi pekerti baik juga. Tujuannya kan supaya mereka tidak berperilaku koruptif, serta pada saat mendatang tidak korupsi. Nama tidak menjadi persoalan, terpenting itu mengajarkan perilaku yang berintegritas. Saya dilibatkan jadi kontributor pembuatan modul antikorupsi bersama tim Unika Soegijapranata saat kerja sama dengan KPK. Modul itu untuk SD dan SMP, ini sudah dipakai untuk pembekalan atau pembelajaran di sekolah-sekolah.
SMP Maria Goretti dan SMP Domenico Savio Semarang sudah menggunakan. Bahkan, di sekolah binaan Unika Soegijapranata itu juga ada kantin kejujuran. Saya juga dilibatkan membuat modul untuk perguruan tinggi. Modul itu hasil kerja sama KPK dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) saat itu. Perguruan tinggi juga telah diberi pelatihan pendidikan antikorupsi, kebetulan saya juga dilibatkan sebagai trainer.
Pelatihan itu digelar secara terpisah di tingkat Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI). Untuk itu saya keliling Indonesia, antara lain Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bali, Jateng, Makassar, DKI, dan Yogyakarta.
Bagaimana penindakan kasus korupsi selama ini, apakah sudah memberikan efek jera?
Hukum pidana terhadap koruptor harus dianggap sebagai ultimum remedium atau obat yang terakhir. Penegakan hukum supaya dijadikan upaya terakhir, kalau sarana lain tidak mempan. Kenapa? Sebab, hukum pidana sifatnya hanya mengatasi gejala. Ada korupsi ya pelaku ditangkap dan dihukum, tapi tidak mengatasi causa (penyebab).
Saran Anda berkaitan dengan Hari Antikorupsi?
Mari berperilaku tidak koruptif, berintegritas, dan hindari korupsi. Sebab, hukum itu hanya salah satu cara untuk memberantas korupsi.
►Suara Merdeka 9 Desember 2019, hal. 1, 7, https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/209719/pendidikan-budi-pekerti-bisa-jadi-fondasi