Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata
DI tengah wabah virus korona yang belum sirna, bolehlah kita menggagas tentang pendidikan budi pekerti ekologis. Dunia pendidikan kita memang sedang gundah gulana pula akibat virus Korona. Pembelajaran tatap muka belum bisa dijalankan seperti biasa. Seiring dengan gulana itu diupayakan pembelajaran secara dalam jaringan (daring).
Tak bisa dimungkiri kita memang sedang hidup dalam era komunikasi informasi digital. Sarana prasarana elektronik dalam bentuk gawai menjadi keseharian kita, bahkan sudah menjadi mindset. Kalau tidak pegang hape rasanya memble. Meski seringkali kabar kabur yang di-share melalui berbagai grup bikin kita menjadi gugup. Wajar bila dengan akal sehat kita bertanya, apakah yang sedang dibagikan itu berita yang benar, atau sekadar gosip dan hoaks yang harus dicerna dengan nalar.
Dalam konteks inilah, kerinduan akan pendidikan budi pekerti menggelayut dalam hati, menggebrak jiwa merebakkan tanya: di manakah budi pekerti sedang bersembunyi, dan bagaimana kita bisa menghadirkannya kembali sebagai bagian dari pendidikan kita?
Mencoba menjawab pertanyaan itu, komunitas Sendang Budaya Mintalaya yang diprakarsai Anto Galon, sutradara film indi di Semarang, mempertemukan tiga Budi, yakni KH Budi Harjono, Romo Aloys Budi Purnomo Pr, dan Budi Maryono dalam tajuk Tri Budi ”Mencari Budi Yang Hilang ‘Budi Pekerti”’ pada 17 Juli 2020 lalu. Di antara berbagai definisi tentang pendidikan, yang paling populer di kalangan intelektual adalah yang dikemukakan Erich Fromm. Pendidikan adalah sarana memanusiakan manusia. Karenanya, pendidikan haruslah memberdayakan bukan memperdaya. Pendidikan mestinya mencerahkan, bukan menjerumuskan dalam kegelapan. Pendidikan itu membuat semakin manusiawi bukan digitalisasi industri.
Tak bisa dilupakan bahwa tujuan pendidikan yang paling hakiki adalah pembinaan pribadi manusia demi kesejahteraan pula. Memanusiakan manusia, itulah intinya. Manusia dimanusiakan melalui pemerdekaan bukan pembelengguan beban-beban, ditambah biaya-biaya yang kerap kali melilit leher para orangtua dalam menyekolahkan anaknya.
Di tengah arus pencapaian sukses yang menguntungkan secara ekonomis dalam tempo sesingkatsingkatnya, bahkan menghalalkan segala cara, kita diingatkan untuk mencari budi pekerti yang hilang. Transformasi pendidikan menuju tata kehidupan yang bersaudara, berkeadilan, dan bermartabat menjadi kerinduan kita (bdk Mgr Ignatius Suharyo, 2009:116-120).
Lebih Bermartabat
Budi pekerti tak bisa dilepaskan dari saling keterhubungan kita dengan sesama dan semesta. Karenanya, layak dipikirkan pentingnya pendidikan budi pekerti ekologis. Pendidikan yang demikian erat terkait dengan ekologi manusia. Meminjam bahasa Paus Fransiskus, ekologi manusia juga menyiratkan hal yang sangat mendalam: hubungan antara hidup manusia dan hukum moral yang tertulis dalam kodrat kita sendiri. Hubungan semacam ini diperlukan untuk dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermartabat, bersaudara, dan berkeadilan (Francis, 2015:97).
Pendidikan budi pekerti ekologis adalah proses pewarisan nilai-nilai bahwa kepedulian kita terhadap lingkungan hidup akan menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi generasi masa depan. Alih-alih mengeruk keuntungan sekejap dengan merusak alam dan lingkungan, hati nurani yang peka akan kemanusiaan akan mempertimbangkan keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup masa depan. Harta kekayaan bumi ini bukan milik kita semata untuk keuntungan saat ini, tapi juga milik generasi masa depan.
Budi pekerti ekologis memberi ruang bagi kesadaran dan perilaku yang jauh dari rasa egois, dan lebih ekois yang dipertaruhkan adalah martabat kita sendiri. Kita sendirilah yang pertama-tama berkepentingan untuk mewariskan bumi yang layak huni kepada generasi mendatang. (46)
— https://www.suaramerdeka.com/news/opini/236852-pendidikan-budi-pekerti-ekologis , Suara Merdeka 4 Agustus 2020 hal. 4