Oleh: Ferdinand Hindiarto, rektor Unika Soegijapranata Semarang
“Pembelajaran daring tentu secara natural membawa konsekuensi berbagai ”kekosongan” dalam proses pembelajaran. Hilangnya interaksi yang mendalam, baik antarsiswa maupun siswa-pengajar adalah kekosongan yang paling besar.”
PANDEMI Covid-19 telah menghantam berbagai dimensi kehidupan manusia, tidak terkecuali bidang pendidikan.
Perubahan yang tiba-tiba memaksa institusi pendidikan pada semua level untuk melakukan adaptasi dalam proses pembelajarannya. Dari tingkat prasekolah hingga pendidikan tinggi mau tidak mau harus berpaling dengan apa yang kita kenal dengan pembelajaran online atau pembelajaran daring, karena memang tidak ada pilihan lain.
Adaptasi terhadap media pembelajaran itu membuat para pengajar dan peserta didik akrab dengan berbagai platform digital.
Sampai pada titik inilah banyak dialog yang dapat mengisi ruang-ruang diskusi terkait dengan proses pendidikan. Pertama, apakah benar telah terjadi adaptasi dan bahkan transformasi pendidikan? Atau sebenarnya hanya berganti medianya saja?
Bisa jadi sebagian besar masih terbatas pada berganti media pembelajaran saja. Dari semula tatap muka menjadi tatap maya.
Barangkali materi atau konten pembelajaran dan metode pembelajaran masih sama.
Jika hal ini yang terjadi, maka sesungguhnya dunia pendidikan belum melakukan adaptasi apalagi transformasi. Maka menjadi sebuah kewajaran jika kita banyak mendengar keluhan baik dari para pengajar maupun siswa/mahasiswa mengalami kejenuhan dan kebosanan.
Apalagi jika infrastruktur jaringan tidak memadai. Pembelajaran daring tentu secara natural membawa konsekuensi berbagai ”kekosongan” dalam proses pembelajaran. Hilangnya interaksi yang mendalam, baik antarsiswa maupun siswa-pengajar adalah kekosongan yang paling besar.
Kehadiran berbagai platform digital sepertinya tidak mampu menggantikan kualitas interaksi antarmanusia secara langsung. Dikhawatirkan akan banyak kompetensi-kompetensi sosial yang tereduksi. Kedua, jika memang pembelajaran online ini efektif maka muncul pertanyaan yang sangat substansial: masih perlukah sekolah atau universitas?
Toh siswa dapat memperoleh berbagai pengetahuan dari berbagai sumber di dunia maya secara murah bahkan gratis. Sebuah kewajaran jika publik memiliki asumsi bahwa biaya pendidikan seharusnya menjadi jauh lebih murah.
Hal ini tentu saja menjadi tantangan besar bagi institusi pendidikan, secara lebih khusus bagi pendidikan tinggi.
Bagi institusi pendidikan swasta, yang nota bene mengandalkan operasionalnya dari penerimaan uang pendidikan siswa, tentu situasi tersebut menjadi tantangan sangat berat. Peter Fleming dalam bukunya yang berjudul Dark Academia, How Universities Die (2021) menggambarkan situasi tersebut dengan sangat jelas.
Menurut Fleming, situasi pandemi Covid-19 ini dapat menjadi ”penyakit” bagi universitas. Penyakit ini ditunjukkan dengan munculnya simptom- simptom, yang dapat berakibat pada matinya universitas jika tidak diantisipasi dan diintervensi secara tepat. Salah satu simptom yang diuraikan oleh Fleming adalah godaan pada universitas dengan membuka kelas-kelas besar dengan biaya murah, karena dengan pembelajaran online hal itu dapat dilakukan, namun dengan mengorbankan aspek-aspek yang substansial dalam pendidikan.
Godaan lain adalah universitas cenderung memenuhi keinginan atau kepuasan ”customer” yang menginginkan segala sesuatu harus mudah, cepat, dan murah. Jika universitas lalu mengabaikan filosofi pendidikan sebagai hal yang paling substantif, maka pada titik tertentu justru akan menjadi liang kubur kematian bagi universitas itu sendiri. Lalu bagaimankah universitas harus memposisikan dirinya?
Pemicu Kualitas
Kemajuan teknologi informasi yang kita nikmati saat ini, seharusnya menjadi pemicu dan pemacu semakin baiknya kualitas kehidupan manusia, melalui pendidikan.
Ketika pandemi Covid-19 ini nanti berakhir pun, kehadiran teknologi informasi tetap harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Kemudahan mencari sumber-sumber pengetahuan, menghadirkan tokohtokoh inspiratif ke dalam kelas secara online adalah contoh yang paling nyata.
Namun demikian hal yang paling substantif dalam pendidikan harus diteguhkan bahkan harus semakin diperkuat. Drijarkara, salah satu tokoh filssafat pendidikan Indonesia, mengungkapkan dua pokok pemikiran dalam pendidikan. Pertama, mendidik atau melaksanakan kegiatan pendidikan merupakan perbuatan fundamental.
Kata fundamental merujuk pada dua arti, yaitu pendidikan bertujuan mengubah, menentukan dan membentuk hidup manusia serta pendidikan berpangkal pada sikap fundamental cinta dalam arti cinta murni, yaitu cinta yang mengarah pada kepentingan yang dicintai bukan kepentingan yang mencintai.
Kedua, isi perbuatan fundamental adalah pemanusiaan manusia muda dalam arti hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah proses manusia menyadari dirinya bukan makhluk biologis semata, melainkan sebagai seorang pribadi atau subyek yaitu mengerti diri, menempatkan diri dalam situasinya, mengambil sikap dan menentukan dirinya.
Humanisasi adalah proses manusia berdasarkan budinya mengangkat alam menjadi alam manusiawi atau menjadi kebudayaan.
Dengan kata lain, pemanusiaan dalam arti hominisasi dan humanisasi adalah pengangkatan manusia muda sampai sedemikian tingginya sehingga dia bisa menjalankan hidupnya sebagai manusia dan membudayakan diri (Sudiarja dkk, Karya Lengkap Drijarkara, 2006).
Berdasarkan pemikiran Drijarkara tersebut, maka pendidikan sudah seharusnya dikembalikan pada hakikatnya untuk menggembleng manusia muda agar mampu menjalankan hidupnya sebagai manusia.
Menjadi pribadi yang merdeka dalam menentukan sikap dan perilakunya secara dewasa dan berbudaya. Beberapa hal dapat dilakukan. Pertama, mendefinisikan kembali apa arti mengajar dan mendidik di zaman ini? Apakah sekadar mentransfer pengetahuan?
Jika hanya itu maka sebenarnya tidak diperlukan lagi institusi pendidikan, karena dalam dunia maya tersedia pengetahuan yang berlimpah. Kedua, mendidik melalui proses dialog, interaksi, dan modelling dari para pengajar adalah metode terbaik agar manusia muda menjadi pribadi yang merdeka, dewasa sekaligus berbudaya.
Di sinilah letak penting institusi pendidikan, yang sulit tergantikan oleh media lain. Ketiga, untuk menemukan dan bertemu dengan kontekstual dunia saat ini dan masa depan, maka pemanfaatan teknologi informasi secara tepat akan menjadi kolaborasi yang ideal.
Unika Soegijapranata yang lahir membawa perutusan luhur dari Mgr Alb Soegijapranata berkomitmen untuk terus menyalakan kemanusiaan melalui proses pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai dasar pendidikan itu. (46)
— Suara Merdeka 31 Agustus 2021 hal. 4
https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-041013721/pendidikan-dan-nyala-kemanusiaan?page=all