Praktik pertaksian di Bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, dinilai telah lama melanggar aturan perundang-undangan. Untuk itu, pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan ke pihak berwenang, termasuk kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Demikian disampaikan pengamat dan sekaligus dosen di Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno kepada beritatrans.com dan Tabloid Mingguan Berita Trans di Jakarta, Selasa (4/10/2016).
Djoko mengatakan, sudah sekian lama praktik taksi Bandara Ahmad Yani melanggar aturan taksi resmi.
Menurutnya, setidak ada tiga peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh taksi Bandara Ahmad Yani. Ketiga peraturan perundang-undangan itu adalah UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Organda Kota Semarang dan pengusaha atau operator taksi di Semarang dapat melaporkan ke KPPU atas praktik pertaksian di Bandara Ahmad Yani yang melanggar aturan itu,” kata Djoko.
Djoko menegaskan, saat ini sudah banyak bandara yang berhasil tidak dikuasai oleh satu operator taksi, seperti Bandara Sultan Kasim II di Pekanbaru dan Bandara Hasanuddin, Makassar.
Djoko menyarankan, pihak-pihak yang merasa dirugikan praktik usaha yang monopolistik itu jangan terlalu lama menunggu pemerintah kota Semarang atau Provinsi Jawa Tengah. Kedua pemerintahan daerah ini dinilai Djoko tidak akan mau bertindak sudah lama sering dikeluhkan oleh warga pengguna jasa taksi Bandara Ahmad Yani.
“Para pengguna jasa sering mengeluh karena taksi yang beroperasi di Bandara Ahmad Yani tidak pernah menggunakan argometer, sesuai peraturan pertaksian. Keluhan mereka hanya didengar saja, tetapi tidak dikerjakan. Pemda tidak menggubris alias mengabaikan laporan dan keluhan warga,” tuturnya.