Keberadaan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang sejak 2009 yang diharapkan bisa mengatasi kemacetan kota, dinilai isapan jempol.
Hal itu karena, dari enam koridor BRT Trans Semarang yabg beroperasi belum bisa mengurangi kemacetan di Kota Semarang.
Hal itu disampaikan peneliti pada Laboratorium Transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno. Menurutnya, kemacetan lalu lintas di Kota Semarang kian bertambah seolah tidak ada manfaatnya BRT sebagai solusi mengatasi kemacetan.
"BRT Trans Semarang belum bisa mengatasi kemacetan. Ada salah rancang rute atau trayeknya. Mestinya, trayeknya menghubungkan setiap kawasan perumahan dan permukiman menuju pusat kota, melewati perkantoran, pusat bisnis, sekolah dan kampus," kata Djoko, Kamis (15/3/2018).
Ia menuturkan, kondisi yang terjadi sekarang, point to point yang membuat masyarakat di kawasan perumahan harus menggunakan moda transportasi dulu seperti sepeda motor atau mobil. Sehingga hal itu dinilai tidak efektif.
"Terlebih berhenti di halte tidak tersedia park and ride. Lebih baik menggunakan kendaraan tersebut menuju pusat kota. Belum lagi manajemen kelola yang seharusnya operator eksisting, tapi diberikan operator baru," tambahnya.
Dengan demikian, lanjutnya, ada tumpang tindih dengan rute angkot. Hal itu karena beberapa daerah kawasan yang banyak penumpang BRT Trans Semarang tidak disediakan halte atau shelter.
"Dampaknya, BRT jadi mubazir, sering kosong. Sementara subsidi tetap berjalan. Karena itu segera lakukan kajian ulang trayek (rerouting) dan gunakan operator eksisting sebagai pengelola," sarannya.