Oleh: Djoko Setijowarno
Hakekat atau esensi pembatasan atau pengendalian transportasi itu adalah mencegah penularan virna (virus corona). Untuk itu, penting untuk memastikan seseorang yang mendapatkan pengecualian menggunakan transportasi umum itu benar-benar negatif Covid-19. Mudik tak hanya soal aktivitas mobilitas seseorang, tetapi juga terkait nilai-nilai silaturahmi serta hormat kepada orangtua.
Namun tidak mudah memberikan pemahaman itu ke publik. Kendati pemerintah sudah berupaya keras secara aturan dan pelarang fisik di lapangan. Pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama juga sudah dilakukan.
Akhirnya demi memenuhi keinginan masyarakat untuk kepentingan tertentu, Pemerintah menerbitkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Nomor SE.9/AJ.201/DRJD/2020 tentang Pengaturan Penyelenggaraan Transportasi Darat selama Masa Dilarang Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Namun dalam kerangka tetap melarang mudik dan harus mentaati protokoler kesehatan.
Saat ini, menurut Organda di seluruh Indonesia tercatat 90.127 perusahaan angkutan umum (orang dan barang) memiliki 426.660 armada.
Angkutan penumpang angkutan antar kota antar provinsi (AKAP) sebanyak 346 perusahaan dengan 26.110 armada, antar jemput antar provinsi (AJAP) atau travel 6 perusahaan (5.579 armada), angkutan pariwisata 1.112 perusahaan (18.200 armada), angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP) 20.000 perusahaan (51.815 armada), taksi 113 perusahaan (53.268), 40 ribu perusahaan angkutan kota (angkot) dengan 58.470 armada, dan 8.500 perusahaan angkutan lingkungan (angling) dengan 13.241 armada. Sementara untuk angkutan barang terdapat 20 ribu perusahaan dengan 199.977 armada.
Kalkulasi kasar, jika seluruh angkutan antar kota antar provinsi (AKAP) tidak beroperasi selama musim mudik lebaran, akan hilang pemasukan sekitar Rp 10,5 triliun. Sekarang ini, aliran uang pemudik mengalir ke pengusaha angkutan pelat hitam.
Angkutan pelat hitam merajalela beroperasi memenuhi mobilitas orang antar kota antar provinsi yang cukup tinggi. Sebagai gambaran (data dari Dinas Perhubungan Prov. Jawa Tengah), total yang datang ke Jawa Tengah sejak 26 Maret 2020 sebanyak 824.833 orang (hingga 9 Mei 2020). Sampai 24 April 2020 (awal dilarang mudik) jumlah perantau yang datang di Jawa Tengah sebanyak 676.178 orang. Meskipun stasiun kereta, bandara tidak dan sebagian terminal penumpang menutup operasinya, ternyata pertambahan perantau yang pulang kampung ke Jawa Tengah masih terus berlangsung sebesar 148.685 orang.
Pemudik yang datang ke Jawa Tengah menggunakan moda transportasi umum (bus, KA, pesawat udara dan kapal) cenderung menurun drastis sejak penatapan larangan mudik, serta penghentian operasional moda pesawat, kereta dan kapal laut.
Rombongan perantau warga Jateng (148.685 orang) dari Jabodetabak diperkirakan menggunakan kendaraan pribadi, sepeda motor atau kendaran sewa berpelat hitam. Kemungkinan besar melewati jalur tidak resmi (istilahnya jalur tikus) yang tidak terjaga aparat hukum.
Wajar saja, para perantau yang berasal dari Jawa Tengah itu memilih pulang kampung. Pasalnya, persediaan logistik dan finansial untuk memperpanjang hidup sudah mulai menipis. Sudah tidak mampu membayar sewa kontrakan tempat tinggal. Sementara sumber mata pencaharian di Jabodetabek sedang sepi. Rata-rata perantau ini adalah pekerja informal pendapatan harian, seperti pedagang kaki lima, porter stasiun kereta, pengusaha warung makan, pengemudi taksi, pengemudi bajaj, driver ojek, penjual nasi goreng, penjual bubur ayam, penjaja starling (star buck keliling).
Inisiatif Jateng
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berinisiatif mengirimkan bantuan berupa sembako. Tujuannya, supaya para perantau yang berasal dari Jawa Tengah tidak berbondong-bondong pulang kampung. Anggaran bantuan untuk warga Jateng di Jabodetabek sudah disiapkan, dialokasi dari APBD Jawa Tengah 2020. Saat ini sudah terdaftar sekitar 60 ribu warga Jateng berada di Jabodetabek.
Sebelumnya sudah ada salah satu desa di Kabupaten Kebumen, yaitu Desa Winong yang sudah mengirimkan bantuan ke Jakarta. Bentuk solidaritas warga perantau berasal dapat ditiru oleh pemda lainnya. Tidak memberatkan pemda tempat perantau mencari nafkah dan perantau tidak akan ikut mudik lagi.
Langka inisiatif yang dilakukan Gub. Jawa Tengah dan warga Desa Winong Kab. Kebumen bisa menginspirasi pemda lainnya di luar Jabodetabek berbuat hal yang sama.
Bisa jadi dasar pertimbangannya, daripada memberikan peluang pada angkutan pelat hitam mengangkut orang, lebih baik membolehkan angkutan umum resmi beroperasi. Beroperasinya transportasi umum tidak untuk mudik. Namun sulit untuk dihindari jika tidak digunakan untuk perjalanan mudik di masa jelang lebaran.
*) Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyaratakatan MTI Pusat
►https://smol.id/2020/05/11/pengendalian-transportasi-umum/
Tulisan yang sama:
https://bisnisnews.id/detail/berita/pengendalian-transportasi-umum-di-tengah-pandemi
https://www.suarakarya.id/detail/111093/Pengendalian-Transportasi-Umum
https://kuasakata.com/read/persuasi/13039-pengendalian-transportasi-umum