Oleh: Andreas Ryan Sanjaya, Dosen Ilmu Komunikasi Unika Soegijapranata
SISTEM pangan adalah salah satu isu sentral tapi sekaligus termarjinalkan. Kecemasan warga akan kelangkaan minyak goreng dan melonjaknya harga cabai pantas menjadi alarm tanda bahaya atas sistem pangan. Di sisi lain, visi tentang pangan tampaknya belum disusun dengan terang benderang. Sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran yang tak mudah: mendorong transformasi sistem pangan ke arah yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Tulisan singkat ini adalah bentuk urun rembug dan bentuk apresiasi kepada insan yang memiliki kuasa besar dalam pembentukan pengetahuan di benak warga. Mengingat sifatnya yang begitu mendasar dan terindikasi ada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, sistem pangan layak untuk jadi agenda publik sekaligus agenda media.
Secara teoritis, ada beberapa peran media massa atau jurnalis. Dalam konteks tulisan ini, peran yang diangkat adalah peran jurnalis sebagai “makelar pengetahuan”. Peran ini begitu relevan sebab diskursus di media tentang sistem pangan selama ini didominasi oleh angka-angka dan istilah ilmiah baik pada rantai produksi, distribusi, hingga konsumsi. Angka-angka tersebut barangkali memang diperlukan dan valid, tapi apakah mampu membangunkan kesadaran warga akan sistem pangan?
Makelar Pengetahuan
Istilah ini diterjemahkan bebas dari artikel yang ditulis Gesualdo, Weber, & Yanovitzky (2019) yang berjudul Journalist as Knowledge Broker. Mereka menawarkan 5 (lima) fungsi spesifik yang, berkaitan dengan peran jurnalis tadi yaitu: kesadaran (awareness). akses (accesibility), keterikatan (engagement), hubungan (linkage), dan mobilisasi (mobilization).
Melalui fungsi pertama (awareness), jurnalis mampu meningkatkan kesadaran audiens mengenai bukti-bukti riset yang ada. Karena statusnya tersebut, jurnalis memiliki akses untuk sumber-sumber, yang spesifik, termasuk dari para pakar. Jurnalis dapat mengutip informasi penting dari sumber/narasumber tadi untuk disusun dalam berita, yang harapannya audiens akan lebih memiliki kesadaran mengenai suatu hal.
Dalam konteks sistem pangan, pers tidak kurang-kurangnya dalam menjalankan fungsi ini. Warga dapat dengan mudah mencari informasi tingkat konsumsi beras, kenaikan impor beras, penurunan produksi beras, dan informasi lainnya pada media massa. Kesadaran itu berupaya diciptakan melalui frekuensi kemunculan berita dan angka-angka besar yang dibawanya. Publik tentu masih bisa memperdebatkan efektivitas dari metode ini, tapi upaya menuju ke sana jelas sudah dilakukan,
Fungsi kedua (accessibility) memungkinkan jurnalis untuk melakukan pengumpulan, seleksi, dan perbandingan data yang didapatkan dari berbagai sumber. Dibandingkan dengan pihak lain, jurnalis dianggap memiliki akses yang lebih besar kepada sumber informasi yang faktual dan beragam. Informami yang kredibel dan relevan ini lalu ditampikan melalui kaidah jurnalistik untuk dapat diakses publik.
Pada fungsi ini jurnalis berperan untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi antara pengetahuan masyarakat umum dengan ‘lumbung pengetahuan’ seperti pusat-pusat studi dan lembaga-lembaga penelitian. Akses kepada mereka sebenarnya terbuka lebar melalui bantuan teknologi, tetapi kebanyakan masih tersegmenetasi dan bias pengetahuan.
Fungsi ketiga (engagement) ini memungkinkan publik memahami hasil penelitian yang pada umumnya memang disampaikan dalam bahasa teknis yang cenderung rumit. Jurnalis dapat dengan leluasa berhubungan langsung dengan peneliti dan membantu mereka menyampaikan pesan penting tersebut kepada publik.
Sampaikan pesan
Keterampilan yang dibutuhkan pada fungsi ini adalah `menerjemahkan’ istilah dan konsep teknis tadi menjadi informasi yang lebih mudah untuk dipahami oleh publik. Keterampilan ini tidak mudah sebab berpotensi melakukan simplifikasi dan reduksi hasil penelitian. Maka, disiplin verifikasi langsung kepada peneliti kemudian mutlak dilakukan oleh jurnalis.
Fungsi linkage memungkinkan seorang jurnalis untuk melakukan 3 (tiga) jenis hubungan dengan para aktor: bridging (menghubungkan para aktor atau isu isu yang belum terhubung), linking (menghubungkan aktor atau isu ‘periferal’ kepada yang lebih terkemuka); dan bonding (menguatkan hubungan yang sudah ada di antara para aktor ataupun isu).
Rutinitas jurnalistik pada umumnya memang mendorong jurnalis untuk membahas satu fenomena dari beberapa pihak. Maka jurnalis juga perlu memahami keterkaitan satu isu dengan isu lainnya, dan relasi antar aktor yang terlibat di dalamnya. Dengan pemahaman ini jurnalis bisa membentuk cerita yang lebih utuh dan melibatkan berbagai pihak.
Fungsi mobilization merujuk pada kapasitas seorang jurnalis untuk mendorong warga bertindak berdasarkan pengetahuan saintifik. Persoalannya adalah seringkali warga merasa pengetahuan saintifik ini tidak selalu relevan dengan kondisi mereka. Selain itu, karya jurnalistik yang berdasarkan fakta ilmiah ini dapat menjadi pertimbangan para pejabat untuk membuat kebijakan publik yang tepat. Dengan kata lain, fungsi ini mengantar pada tahapan paling ujung. Tahap setelah pengetahuan ini dimiliki oleh publik adalah tahap perubahan secara sikap pada aras individu maupun komunitas, dan juga perubahan dari sistem (kebij akan).
Inisiasi Perubahan
Menginisiasi perubahan dalam masyarakat itu tidak pernah mudah, apalagi perubahan dalam sistem pangan. Keterlibatan aktor yang berperan dalam rantai panjang sistem pangan menjadi begitu penting untuk dibahas. Setiap aktor perlu memiliki literasi pangan yang cukup untuk dapat terlibat secara proporsional. Pers, melalui kegiatan dan produk jurnalistiknya, berperan besar dalam proses ini.
#Tribun Jateng 4 Juli 2022 hal. 2
https://jateng.tribunnews.com/2022/07/04/opini-andreas-ryan-sanjaya-peran-media-dalam-sistem-pangan