SEMANGAT menghargai menjadi kata kunci dalam pelaksanaan Pasar Imlek Semawis dari tahun ke tahun. Pasar Imlek Semawis dinilai tidak hanya telah menjadi salah satu ikon budaya Kota Semarang. Pasar Imlek Semawis juga menjadi wujud pembauran beragam etnis di Kota Lunpia.
Pasar Imlek Semawis mulamula diselenggarakan pada 2004, setelah peresmian tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional, dengan nama Waroeng Semawis. Pasar itu terselenggara atas gagasan Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis). ”Dari tahun ke tahun makin banyak pihak yang kami libatkan. Isian kegiatan pun makin beragam.
Bukan hanya kekayaan ragam etnis Tionghoa, melainkan juga Jawa dan Arab,” kata pengurus Kopi Semawis, Benita Arijani. Pembauran itu mewujud dalam berbagai kegiatan, seperti pentas seni, suguhan kuliner, hingga berbagai pernik khas Semawis. Ketiga etnis itu, kata dia, tak bisa dipisahkan dan telah berakulturasi.
Sebagai ajang pembauran etnis, Pasar Semawis telah menjadi agenda besar yang dinanti, baik oleh pelaku usaha maupun warga Kota Semarang. Tokoh masyarakat Kelurahan Kranggan, Indra Lukito, menyatakan penyelenggaraan Pasar Imlek Semawis sekaligus menjadi promosi wisata budaya bagi Pecinan.
”Sudah menjadi agenda tahunan untuk meningkatkan kunjungan wisata di Pecinan,” kata Indra. Karena itu, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kranggan itu berharap penyelenggara mengevaluasi pelaksanaan dari tahun ke tahun. ”Supaya hasilnya selalu lebih baik dari tahun ke tahun.”
Rektor Unika Soegijapranata, Yohanes Budi Widianarko, mengapresiasi kerja Kopi Semawis yang menggagas acara itu. ”Akulturasi antaretnis di Semarang menjadi kata kunci karena sampai saat ini mampu bertahan. Akulturasi juga modal utama agar bisa terus terselenggara,” ujarnya.
Prestasi Tersendiri
Ia menyatakan konsistensi dan pengembangan Pasar Imlek Semawis merupakan sebuah prestasi tersendiri. Karena, perayaan serupa di kota-kota lain hanya sebatas obor-obor blarak, panaspanas tahi ayam, dan kurang bergema. Ia juga mengapresiasi kerja panitia yang selalu memasukkan subbudaya Tionghoa yang tidak berdiri sendiri.
”Misalnya, itu tercermin dari pusat makanan yang disajikan sebagai multikultural, dari Jawa sampai makanan barat. Termasuk sajian seni dan budaya yang ditampilkan sangat bervariasi,” ujarnya. Budi menuturkan Pasar Imlek Semawis dapat dikatakan telah menjadi subkebudayaan Nusantara.
”Karena ada semacam ciri khas yang telah melekat,” kata dia. Ketua Harian Perserikatan Organisasi Tionghoa (Porinti), Setiawan, menyatakan acara itu merupakan laboratorium multikultural yang harus terus diselenggarakan. Ia mendorong Pemerintah Kota Semarang makin gencar mempromosikan hingga skala internasional. ”Itu perlu karena makna Pasar Imlek Semawis dalam.
Apalagi yang berkunjung ke sana berbagai lapisan,” ujarnya. Dia mengemukakan hal itu telah menyatu dengan budaya Indonesia sehingga tidak dapat dipisahkan lagi. ”Jika mampu terselenggara hingga 13 kali berarti cermin dari interaksi yang terbangun makin baik. Masyarakat Kota Semarang mampu berdampingan, sehingga menciptakan suasana harmonis,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Iwan Susanto, wakil ketua Porinti. Dia menyatakan tak hanya kaum Tionghoa yang menikmati acara itu. Semua kalangan dapat dengan bebas datang dan menikmati berbagai sajian. ”Kami juga memperhatikan usaha mikro, kecil, dan menengah binaan Kadin Jawa Tengah untuk tampil pada acara ini,” kata dia.
Dewi Agustin, warga Jalan Beteng, kawasan Pecinan, menyatakan penyelenggaraan Pasar Imlek Semawis secara langsung telah mempromosikan kawasan tempat dia tinggal. Acara itu telah membantu meningkatkan gerak roda perekonomian karena mampu mendatangkan pengunjung. Dewi tak mempermasalahkan jika arus di jalanan di tempat tinggalnya macet beberapa hari.
”Toh tidak setiap hari. Jadi lebih banyak manfaatnya,” kata dia. Seperti Indra Lukito, Dewi berharap penyelenggara mengevaluasi setiap selesai acara, sehingga pelaksanaan tahun berikutnya bisa lebih baik. ”Yang terpenting bermanfaat bagi makin banyak warga masyarakat,” ujar dia.
sumber : berita.suaramerdeka.com