"Sistem hukum Indonesia telah mengundangkan beberapa peraturan terkait dengan perlindungan cagar budaya, namun tidak spesifik perlindungan pada situasi konflik bersenjata."
MEDIAberkali-kali memberitakan penghancuran benda cagar budaya padahal memiliki sejarah beratus bahkan beribu tahun. Contohnya penghancuran Masjid Agung Al Nuri yang menjadi ikon Kota Mosul, Irak selama hampir 840 tahun.
Selain sebagai dampak ikutan dari konflik, kerusakan benda budaya bisa karena kesengajaan untuk menghilangkan memori budaya dan sejarah asal-usul musuh. Di Indonesia, banyak benda budaya hancur akibat kesengajaan atau karena efek dari konflik. Dalam konflik di Ambon, misalnya, gereja tua Hila yang sudah berdiri lebih dari 200 tahun dibakar massa.
Pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi benda cagar budaya, apalagi telah meratifikasi Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya pada Saat Konflik Bersenjata. Pada prinsipnya, konvensi itu memuat kewajiban pihak yang berkonflik tidak melakukan serangan yang ditujukan atau mengakibatkan kerusakan benda-benda budaya selama tidak memberi kontribusi pada kepentingan militer musuh.
Sistem hukum Indonesia telah mengundangkan beberapa peraturan terkait dengan perlindungan cagar budaya, namun tidak spesifik perlindungan pada situasi konflik bersenjata. Misalnya UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, PPNo 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No 5 Tahun 1992, UU No 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan banyak pemda mengundangkan perda mengenai cagar budaya.
Hal itu mengindikasikan isu perlindungan cagar budaya telah menjadi perhatian penting dalam sistem hukum dan pemerintahan di Indonesia baik pusat maupun daerah. Namun, disayangkan hingga kini ketentuanketentuan hukum internasional yang sudah mempunyai sistem yang mapan dalam perlindungan benda budaya belum diterapkan secara sesuai di sini. Bahkan ada yang menyimpang. Contohnya, lambang perlindungan benda budaya yang dilindungi secara umum tidak boleh disamakan dengan lambang benda budaya yang dilindungi secara khusus.
Lambang benda budaya yang dilindungi dalam sistem perlindungan umum berbentuk perisai biru berjumlah satu, sedangkan dalam sistem perlindungan khusus berbentuk perisai biru berjumlah tiga. Benda budaya dalam sistem perlindungan umum cukup didaftar dan diatur oleh hukum nasional; sedangkan benda budaya dalam sistem perlindungan khusus, pendaftaran dan pemberian statusnya melibatkan UNESCO.
Di dunia, sangat sedikit benda budaya dalam rezim perlindungan khusus, jumlahnya tidak sampai 20 situs termasuk Vatican City dan Ancient Maya City of Calakmul, Meksiko. Candi Borobudur dan Prambanan yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia menggunakan tiga lambang perisai biru pada papan nama di halaman depannya, namun belum ada dalam daftar UNESCO sebagai benda cagar budaya dalam sistem perlindungan khusus.
Contoh di atas merepresentasikan contoh kecil dan sederhana kekurangsensitifan bangsa ini memberikan perlindungan benda cagar budaya. Sejarah Indonesia yang beberapa kali mengalami berbagai konflik sosial memberi alasan kuat untuk terus meningkatkan perlindungan terhadap benda budaya dari dampak perusakan akibat konflik.
Sinergitas perlindungan benda budaya antara sistem hukum nasional dan internasional akan saling memperkuat dan melengkapi, sehingga dapat mencapai efektivitas secara maksimal. Ketersediaan aturan hukum tentang perlindungan benda budaya pada saat konflik akan berkontribusi dalam membangun instrumeninstrumen aplikatif yang berfungsi mencegah dampak perusakan, penghancuran, dan pemusnahan benda budaya.
Pada tahap paling awal, melalui proses penyadaran para pemangku kepentingan dan masyarakat umum melalui pendidikan dan pelatihan yang secara internasional telah memiliki praktik terbaik dari aspek muatan materi, pelembagaan, maupun jaringan. Mekanisme pendidikan, pelatihan, dan sosialisasi menjamin sejak awal di masa damai, semua pihak pemangku kepentingan telah mengetahui dan memahami hak, kewajiban, serta tanggung jawab mereka terhadap perlindungan benda budaya.(17)
—Dr Trihoni Nalesti Dewi,pengajar Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata
(►Suara Merdeka 19 September 2017, www.suaramerdeka.com)