- Oleh Budi Widianarko
Aksi penolakan mengecor kaki oleh sejumlah perempuan Sedulur Sikep sebagai suatu diskursus budaya harus diakui telah berhasil menggugah kesadaran publik tentang ketidakadilan lingkungan di Kendeng Utara.
SEPERTI saya baca dari salah satu portal berita daring, Senin (11/12) lalu, rombongan perempuan petani dari Pati menemui Rektor Unika Soegijaparanata, Prof Dr F Ridwan Sanjaya, MSIEC. untuk wadul tentang perasaan dan perjuangan mereka dalam menolak kehadiran pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng.
Acara itu dapat dipandang sebagai upaya mereka mencari dukungan dari komunitas akademik. Memang penolakan para perempuan Kendeng — warga Sedulur Sikep— terhadap pabrik semen di wilayahnya tampaknya sudah final. Sikap mereka begitu kukuh. Menolak, titik.
Alasan penolakannya tidak bergeser dari apa yang sudah mereka suarakan selama ini. Ibu Bumi adalah pemberi kehidupan bagi petani, peternak, anakanak, pepohonan, dan burung. Karena itu, manusia harus membalas budi Ibu Bumi dengan merawatnya dan menyedekahinya, bukan merusaknya.
Mereka berkesan mati-matian membela alam dari ancaman pabrik semen demi keberlangsungan hidup mereka sebagai petani. Mereka juga bergeming oleh tawaran lapangan pekerjaan melalui kehadiran pabrik semen sebagai sesulih bagi tergerusnya penghasilan warga dari budi daya pertanian.
Dalam sebuah tulisannya, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi UI menyatakan, persoalan Kendeng Utara menyangkut ruang hidup masyarakat lokal (Kompas 1/4). Menurutnya mencabut masyarakat lokal dari ruang hidupnya sama dengan meniadakan mereka yang punya filosofi, tanah hilang, kami pun punah.
Keteguhan hati untuk terus menolak pabrik semen ini tampaknya tidak dapat didekati melulu secara teknokratis. Cara pandang yang berkesan rasional dan praktis seperti sulih penghasilan, baik melalui penyediaan lapangan kerja maupun melalui pembagian saham, tidak diterima begitu saja oleh mereka.
Pengandaian pertanian sebagai sumber nafkah alias penopang hidup belaka adalah keliru. Boleh jadi, warga Sedulur Sikep justru memandang pertanian sebagai hidup itu sendiri. Di sinilah titik simpangnya. Ada perbenturan makna antara pertanian untuk hidup dan pertanian adalah hidup.
Jadi, sebenarnya yang tengah bertarung adalah dua cara pandang (world view) terhadap lingkungan dan sumber daya alam itu. Jika pertanian masih hanya dipahami sebatas sebagai salah sektor pembangunan maka aspirasi komunitas tradisonal akan terpinggirkan.
Keadilan Budaya
Dari sudut pandang keadilan lingkungan penolakan warga Kendeng terhadap kehadiran industri di wilayahnya (baca: pabrik semen) dapat dimaknai sebagai usaha untuk meraih keadilan lingkungan melalui diskursus budaya. Pembelaan terhadap Ibu Bumi sebagai pemberi kehidupan dan oleh karena itu manusia harus membalas budi kepada Ibu Bumi adalah diskursus budaya yang diangkat oleh warga Kendeng dalam melawan apa yang mereka persepsikan sebagai ketidakadilan lingkungan.
Damayanti Banerjee & Sheila Steinberg (2015) dalam tulisan mereka di Journal of Rural Science (Volume 39) mempostulatkan tiga perangkat sumber daya atau peranti budaya yang sering digunakan oleh komunitas lokal-tradisional untuk memobilisasi aksi ketidakadilan lingkungan.
Menurut kedua perempuan peneliti itu, ketiga peranti budaya itu yang pertama adalah simbologi tapak, atas nama legitimasi budaya komunitas lokal menggunakan simbol-simbol kultural dan arkeologis untuk mengaku kemelekatan mereka terhadap lingkungan tempat hidupnya.
Kedua adalah warisan bersama, demi menguatkan identitas budaya kolektif komunitas lokal mengembangkan wahana untuk saling berbagi kisah dan pengalaman tentang wilayah mereka.
Ketiga adalah jejaring sosial, demi memperkeras suara, komunitas lokal membangun jejaring informal, baik internal maupun eksternal, dalam memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk menjalankan aksi.
Aksi penolakan mengecor kaki oleh sejumlah perempuan Sedulur Sikep sebagai suatu diskursus budaya harus diakui telah berhasil menggugah kesadaran publik tentang ketidakadilan lingkungan di Kendeng Utara.
Dalam kasus penolakan pabrik semen, munculnya pandangan pro-kontra terhadap aksi cor kaki para perempuan Kendeng membuktikan hal itu.
Jika ditelisik lebih dalam sebenarnya akar dari setiap ketidakadilan ekologi adalah ketidakadilan ekonomi atau lebih tepatnya ketidakadilan alokasi sumber daya. Menempatkan pertanian melulu sebagai sumber nafkah berujung pada komodifikasi terhadapnya. Akibatnya pertanian direduksi menjadi angkaangka, seperti luas panen, produksi, produktivitas, laju pertumbuhan, dan nilai tukar petani yang selalu kita jumpai dalam laporan statistik resmi.
Dalam konteks ini, para pemimpin diharapkan mampu membaca pertanian lebih dari sekadar angka-angka. Jika tidak, sengaja atau tidak sengaja, pertanian hanya jadi kuda tunggang untuk membuat klaim keberhasilan kepemimpinan.
Pemimpin negeri ini mesti punya pemahaman dan empati yang mendalam soal pertanian. Pertanian bukanlah sekadar sektor dalam pembangunan. Pertanian adalah bagian dari budaya, buah perkembangan peradaban manusia. Itu sebabnya kata pertanian sering dipadu dengan budi daya menjadi budidaya pertanian yang jauh lebih kaya makna dari sekedar bertani atau bercocok tanam.
Dengan demikian, melindungi pertanian adalah bagian tidak terpisahkan dari mandat konservasi dan pengembangan budaya.
—Budi Widianarko, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Unika Soegijapranata
Sumber : Suara Merdeka 15 Desember 2017 hal. 4, http://www.suaramerdeka.com