Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November menjadi momen mengenang sejarah bangsa Indonesia. Salah satu yang berperan di masa perjuangan adalah kalangan agamawan. Baik tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Khonghucu.
Salah seorang mubaligh Semarang KH In’amuzzahidin Masyhudi mengingatkan bertepatan di hari pahlawan ini, nilai-nilai nasionalisme harus tetap dikobarkan oleh para anak bangsa. Terlebih di tengah maraknya isu-isu yang memecah belah kesatuan bangsa.
“Namun hal yang perlu diingat lagi saya kira yang terpenting adalah bagaimana warisan para pahlawan ini kita jaga dan makmurkan. Bagaimana negara ini bisa bermanfaat dan memberikan keberkahan kepada penduduknya,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Kiai yang akrab disapa Gus In’am ini menerangkan dua hal yang penting untuk diingat. Yakni, nasionalismenya dan mengisi kemerdekaan yang telah diwariskan oleh para pahlawan dengan hal-hal yang positif, sehingga tercapai kemakmuran bersama. Baldatun toyyibatun warobbul ghafur.
Pengasuh Ponpes Nurul Hidayah ini juga mengingatkan kembali pembelajaran terkait sejarah yang terjadi. Penetapan 10 November sebagai hari pahlawan itu tidak secara tiba-tiba. Ada runtutan sejarah yang mendahuluinya.
Pertama diawali pada 22 Oktober, yakni resolusi jihad yang dikobarkan oleh hadrotusyekh KH Hasyim Asy’ari. Pembelajaran kepada anak bangsa terkait dengan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan itu bukanlah sesuatu yang seketika terjadi. Tapi diperjuangkan oleh pendahulu kita. Salah satunya yang berperan adalah umat Islam.
“Ini mengobarkan banyak nyawa dan tetesan darah yang harus kita hargai semuanya,” ungkap kiai yang juga pengasuh Komunitas Pecinta KH Soleh Darat (Kopisoda) ini.
Ia juga menuturkan perjuangan para pahlawan harus bisa menginspirasi kalangan muda. Mulai berpikir kemanfaatan untuk bangsa dan negara. Milenial yang bagus dan anak muda yang baik adalah Syabbaanul yaum rijaalul ghadd.
Artinya, sekarang pemuda tapi kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin penerus bangsa. Maka persiapan diri menjadi pemimpin masa depan. Jangan sampai pemuda sekadar menghabiskan waktunya untuk kesenangan tanpa menghiraukan nasib bangsa ini.
“Jangan sampai hidup orientasinya hedonis. Yang penting penak, yang penting happy, dan yang penting seneng,” jelasnya.
Senada dengan Gus In’am, pengasuh Ponpes Ribath Al Fatah Gus M Ikhsanuddin mengatakan, hari pahlawan merupakan hari yang sangat bersejarah. Artinya, kita betul-betul harus mengingat jasa para pahlawan. Setelah mengingat jasa pahlawan, seharusnya kita wajib bersyukur. “Wajib hukumnya bersyukur terhadap jasa dan perjuangannya,” terangnya.
Pria yang akrab disapa Gus Ihsan ini juga mengatakan generasi saat ini harus bisa mengaplikasikan bersama dan wujudkan bersama. Sebagai anak bangsa meneladani pengorbanan dan pengabdian yang tiada batas.
Sekarang itu banyak sekali sebagai anak bangsa lupa terhadap jasa dan perjuangan para pahlawan. “Ini yang repot. Makanya harus ingat sejarah,” ungkap kiai yang juga pemimpin Majelis Dzikir dan Sholawat Padang Jagad Rindu Rosul ini.
Wakil Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Jateng WS Andi Gunawan ST CT NNLP mengatakan, semangat bakti merupakan pokok yang mendasari manusia agar menjadi manusia yang ber-Peri Cinta Kasih.
Berbakti dimulai dari dalam rumah, bahkan dari diri sendiri. Berbakti adalah proses mengasah hati (ketulusan) yang harus dilalui untuk menjadi manusia yang penuh Cinta Kasih.
“Untuk meneladani para pahlawan kita harus berpikir bagaimana menjadi teladan, dan menghimbau untuk mengenang pahlawan yang telah gugur,” kata Andi kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Andi mengaku sangat menghargai konsep pahlawan. Baik dari rumah tangga hingga pahlawan negara. Bakti dimulai dari anak ke orang tua sampai berkembang dari anak negeri kepada ibu pertiwi. “Kita sangat hormat. Sebagai penghormatan di kelenteng juga ada nuansa kepahlawanan yang disisipkan,” ujarnya.
Menurutnya, menghormati jasa pahlawan bukan hanya “mengenang masa lalu” selama sehari dalam setahun setiap tanggal 10 November. Namun harus selalu berterima kasih kepada para pahlawan yang menjadikan manusia setiap hari bisa menghirup suasana yang merdeka. Dapat belajar dan bekerja dalam suasana kebebasan.
“Kami punya referensi semacam ini bahwa negara itu harus dijaga dari generasi ke generasi. Tidak boleh ditinggalkan, harus siap mengabdi dan jangan sampai pergi. Teladan yang baik harus menerapkan moderasi beragama dan mengamalkan perilaku kemanusiaan,” ungkapnya.
Andi menegaskan, untuk cinta terhadap pahlawan tentunya harus dimulai dari cinta kepada orang tua. “Omong kosong jika menggembor-gemborkan cinta terhadap pahlawan, tapi tidak kepada orang tuanya,” tandasnya.
Aiko atau cinta terhadap negara harus ditanamkan di jiwa. Mencintai negara perlu ditanamkan kepada generasi muda. Pengajaran budi pekerti dan nasionalisme harus diberikan. Sehingga nasionalisme nantinya bisa didengungkan oleh pemuda.
Peran pemuda sangat penting sekarang ini dengan adanya. Namun pengajarannya harus sesuai dengan menggunakan media sosial sehingga nantinya bisa digunakan menuju hal-hal yang positif.
“Untuk mengembangkan nilai kepahlawanan, nasionalisme, kerukunan bisa melalui media sosial, produk UMKM dengan pengembangan produk dalam negeri. Inilah kepahlawanan menurut saya,” tuturnya.
Pemersatu Bangsa
Momentum Hari Pahlawan 10 November bisa menjadi ajang pemersatu bangsa. Lantaran ada semangat dan perjuangan heroik para pahlawan yang harus dikenang. Mereka juga bahu-membahu mengorbankan nyawa agar Indonesia merdeka dari penjajah. Untuk itu, para pemuka agama di Kota Semarang bersatu menyikapi momen penting dengan meneladani para pahlawan yang telah gugur.
Pemuka Agama Buddha Kota Semarang Romo Angga Dhammo Warto mengatakan, saat ini konteks perjuangan sudah berbeda. Dulu, para pahlawan berjuang melawan penjajah. Kini, para generasi penerus harus berjuang melawan narkoba, terorisme, kapitalisme, dan memerangi orang-orang yang merusak alam.
“Yang paling penting adalah, kita sebagai umat beragama harus melawan ke semua itu. Kita harus adil dengan mengambil jalan tengah dari hal-hal apapun,” katanya saat dihubungi Jawa Pos Radar Semarang.
Ia ingin generasi muda juga ikut serta dalam mengenang dan meneladani pahlawan. Oleh karenanya, Romo Angga Dhammo Warto mengenalkan sejarah pahlawan dan budaya Indonesia melalui tempat ibadah (vihara). Saat ini, kondisi generasi muda sudah jauh dari budaya Indonesia. Mereka lebih suka mengonsumsi budaya dan produk dari negara lain. “Sikap itu bisa menggerus budaya kita sendiri,” ujarnya ramah.
Selain itu, ia selalu mengenalkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan Undang-Undang Dasar 1945 kepada generasi muda. Hal itu sebagai pondasi anak muda agar tetap mencintai budaya, bangsa, dan negara Indonesia sebagai rumah besar yang ditinggali bersama. “Itu juga bisa menyatukan masyarakat di negara kita. Jika mereka tertanam dengan betul ideologi Pancasila, maka tidak akan ada pemecah persatuan kita,” ujarnya.
Ia berharap, agar masyarakat, terutama generasi muda bisa mencontoh para leluhur. Generasi muda harus mencintai budayanya sendiri. “Karena kami yang sudah tua, tidak mungkin selamanya ada. Mereka (generasi muda) harus menjadi penerus,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Jawa Tengah Eko Pujianto. Ia berpesan kepada generasi muda, utamanya kaum milenial untuk ikut menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. Pesan utama yang paling penting adalah bijak dalam menggunakan media sosial (medsos).
“Hindari narasi yang mengadu domba, hindari narasi yang justru melemahkan persatuan dan kesatuan. Ciptakan yang bisa membangun dan semangat menata masa depan yang harus kita hadapi saat ini,” ungkap Eko Pujianto kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Pesan yang disampaikan ini bertujuan untuk mengisi dalam momen peringatan Hari Pahlawan. Menurutnya, sangat penting disampaikan mengingat sekarang ini era digital dan banyak kalangan anak muda yang menggunakan medsos.
“Untuk lebih bisa menahan diri, menjaga diri, ucapan, tindakan, supaya tidak terjebak dalam tindakan-tindakan yang tidak produktif, yang bisa merugikan diri sendiri, maupun merugikan banyak orang,” tegasnya.
Eko menyampaikan, dalam ajaran agama Hindu, ada salah satu ayat yang mengatakan Wasita Nimittanta Manemu Dukha. Artinya, dengan bicara bisa menemukan kesengsaraan, dengan bicara bisa mendapatkan kematian, dengan bicara bisa mendapatkan kebahagiaan, dan dengan bicara juga bisa mendapatkan teman.
“Artinya banyak pilihan-pilihan ketika kita berada di media sosial, mengungkapkan narasi-narasi yang hendaknya memiliki nilai-nilai perjuangan, nilai-nilai persatuan dan kesatuan,” bebernya.
Pihaknya juga mengatakan, dalam ajaran umat Hindu sangat menjaga namanya wicara dan wacana. Menurutnya, sekarang ini wacana dan wicara lebih banyak disampaikan lewat media sosial.
“Sehingga harus lebih bijak dalam menyikapi dan mendapatkan informasi di media sosial. Harus dewasa bijak, dan tidak terjebak di dalam tindakan-tindakan yang bahkan justru merugikan banyak pihak,” tegasnya sambil menambahkan PHDI telah menetapkan tema Hari Pahlawan kali ini, yakni Jadilah Pahlawan Bagi Diri Kita Sendiri.
Arti tema tersebut, jelas dia, memberikan teladan baik, utamanya untuk saat ini harus menegakkan, mentaati regulasi dan anjuran pemerintah terkait protokol kesehatan.
“Kita harus menjadi pahlawan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, lingkungan sekitar, dan harus menjadi pioner-pioner,” kata pria yang menjabat Bendahara PHDI Jateng ini.
Generasi Muda Jadi Pahlawan Ekologi
Para pemuka agama sepakat mendukung generasi muda menentang perusakan alam dan lingkungan. Pasalnya, bila di masa lalu para pahlawan berperang melawan penjajah, kini manusia menghadapi krisis ekologi.
Aloysius Budi Purnomo Pr Pastor Kepala Campus Ministry Unika Soegijapranata Semarang mengatakan peran tokoh agama meneladani para pahlawan tak perlu diragukan. Saat ini yang menjadi tantangan justru mempertahankan hasil perjuangan para pendahulu.
“Adanya kemajuan teknologi jangan sampai memecah belah bangsa ini, seperti akibat paparan hoaks atau fanatisme berlebihan,” ujar Budi kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Generasi muda dinilai lebih kreatif dan adaptif soal pemanfaatan teknologi. Anak muda dapat melakukan banyak hal dengan skill digital yang dimiliki. Tak terkecuali kampanye lingkungan. Dalam hal ini Budi mengakui generasi tua perlu belajar dari anak muda.
“Kita juga perlu belajar memakai media sosial untuk mewartakan kebaikan,” imbuhnya.
Pastor yang juga Ketua Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Semarang itu juga terbantu oleh teknologi. Untuk menggali sejarah dan mengemas ke dalam berbagai bentuk dapat dilakukan generasi muda. Seperti yang banyak dibuat yaitu film dokumenter.
Sedangkan dalam menghadapi krisis ekologi, generasi muda menjadi yang paling vokal dan siap di garda terdepan. Kampanye secara online dengan meramaikan hastag maupun aksi langsung turun ke jalan kerap dilakukan.
Kesadaran kaum muda datang dari kondisi bumi yang kian memburuk. Suhu bumi yang hampir melebihi 1,5 derajat celcius dapat mendatangkan banyak bencana. Anak muda seluruh dunia kompak menentang eksploitasi alam. Masa depannya ikut terancam karena keserakahan segelintir manusia.
“Kemarin di Roma dan di konferensi COP 26 pemuka agama juga berkumpul untuk memberi rekomendasi soal penanganan krisis iklim,” tandasnya.
Budi menegaskan bila tokoh agama mendukung perjuangan generasi muda untuk melawan krisis iklim, menentang penjahat lingkungan, dan berbagai upaya untuk mencegahnya. Karena, baginya, bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga semua umat manusia.
Di banyak negara anak muda menjadi penggerak aksi lingkungan. Bila di Eropa ada Greta Thunberg, Indonesia memiliki Nina, remaja asal Gresik yang berkeliling ke Kantor Kedubes untuk menolak ekspor sampah plastik dari negara maju. Nina bahkan diundang dalam COP26 di Glasgow, Britania Raya sebagai salah satu narasumber.
Pemuka Agama Kristen PDT Budi Hidajat menjelaskan jika perjuangan para pahlawan harus dijadikan teladan untuk mengisi kemerdekaan saat ini. Pahlawan kata dia, rela berkorban dengan kepentingan yang lebih besar yakni memperjuangan kemerdekaan.
“Perjuangan saat ini beda, tidak lagi menggunakan senjata. Namun Semangatnya harus sama, yakni bukan hanya mewujudkan cita-cita sendiri, melainkan harus punya kontribusi dalam pembangunan bangsa,” kata PDT Budi Hidajat.
Contoh yang bisa diterapkan, kata dia, dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bukan hanya bertujuan memiliki pekerjaan, uang yang banyak ataupun yang lainnya. Melainkan harus bisa membantu bersama, bermanfaat bagi lingkungan, dan rela berkorban demi kepentingan umum. “Atau minimal kreatif, punya semangat tinggi untuk berkarya dan bisa produktif,” tuturnya.
Generasi muda sekarang, lanjut Budi, memiliki warisan luar biasa dari para pejuang. Di mana masyarakat saat ini punya kesempatan untuk mencapai cita-citanya, berbeda pada zaman penjajahan dulu. “Contohnya Presiden Joko Widodo yang bisa menjadi presiden Indonesia saat ini, siapa yang menyangka beliau bisa seperti sekarang. Latar belakang apa saja, menurut saya saat ini bisa menggapai cita-cita,” katanya.
► https://radarsemarang.jawapos.com/features/cover-story/2021/11/10/pesan-para-tokoh-agama-di-hari-pahlawan-jangan-lupakan-sejarah-bijak-gunakan-medsos/
Jawa Pos Radar Semarang, 10 November 2021 hal. 1, 11