Pusat Studi Urban (PSU) LPPM Unika Soegijapranata menggelar webinar dengan topik bahasan utama yaitu “Membangun Kepekaan Kota Terhadap Bencana”, pada Selasa (21/7) kemarin dengan menghadirkan empat narasumber.
Ketua PSU LPPM Unika Soegijapranata Dr Trihoni Nalesti Dewi mengatakan bahwa pengangkatan topik ini sangat berkaitan erat dengan bencana di Indonesia dan bagaimana pencegahan serta penanggulangannya
“Perencanaan tata kota di Indonesia menurut kami dalam situasi darurat artinya tidak siap menghadapi situasi bencana, apalagi bencananya itu terjadi secara simultan atau bersamaan,” kata Trihoni.
Trihoni menuturkan situasi bencana yang sedang dihadapi Indonesia saat ini juga terkait dengan risiko-risiko bencana alam lainnya. Oleh karena itu, hal tersebut mendorong Unika menggelar webinar untuk berpikir bagaimana membangun tata kota yang peka terhadap bencana dari sisi makro maupun mikronya.
Sementara moderator Webinar yang juga Ketua Pusat Kajian HAM dan Antikorupsi pada Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Unika, Dr Antonius Maria Laot Kian MHum dalam pengantar webinar sedikit mengulas tentang urgensi perlunya membangun kepekaan terhadap bencana terutama di daerah kota.
“Situasi bencana menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dengan cerdas, dan situasi tersebut berkaitan dengan ruang dimana manusia hidup untuk survive dan mengalahkan berbagai kemusnahan oleh karena bencana. Kota merupakan salah satu ruang hidup, maka kepekaan kota perlu diasah terutama untuk mengantisipasi bencana tersebut,” kata Dr Anton.
Narasumber pertama yang membahas tentang ‘Tata Ruang Kota Berbasis Pengurangan Resiko Bencana’ Dr Ing Wiyatiningsih, terlihat secara eksplisit menerangkan tentang bencana alam dan non alam yang merupakan relevansi bencana sesuai yang dimaksud dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 24 tahun 2007.
“Apabila di suatu daerah itu sudah mengurangi risiko bencana atau sudah memasukkannya dalam rencana tata ruang, pasti rencana tata ruang wilayahnya atau RT/RW-nya sudah memasukkan elemen-elemen yang harus dipertimbangkan di dalam merencanakan daerah yang kira-kira nanti bisa mengurangi risiko bencana yang akan terjadi,” imbuh dia.
Wiyatiningsih menyatakan ada pula langkah yang harus dilakukan dalam pengurangan risiko yaitu meliputi pengendalian atau pembatasan pembangunan fisik di daerah rawan bencana.
"Misalnya daerah jalur aliran lahar gunung Merapi yang memang berdasarkan sejarah sebelumnya akan mengundang bencana. Apabila di daerah tersebut didirikan bangunan, maka tentu saja akan ada aturan yang mengatur pembatasan pendirian bangunan di daerah rawan bencana tersebut," sambungnya.
Dalam RT/RW itu pun, pihak-pihak terkait juga harus menyiapkan sarana prasarana apabila terjadi bencana, misalnya zonasi atau pengelompokan ruang dalam sebuah wilayah, apakah sudah diatur berdasarkan tingkat kerawanan dan dari jenis potensi bencana.
"Termasuk didalamnya adalah penyiapan jaringan jalan dan ruang terbuka yang dapat berfungsi sebagai jalur evakuasi," imbuhnya.
Selain tata ruang, Wiyatiningsih menyebut suatu daerah diperlukan juga perlu memiliki perangkat pencegahan bencana yang berupa peraturan-peraturan atau strategi mitigasi yang terkait struktur dan konstruksi yang harus diatur.
"Misalnya supaya tahan gempa, maka bangunan itu harus menggunakan struktur apa, dan bahan bangunan yang aman apabila terjadi gempa itu seperti apa, itu juga ada aturannya. Sehingga setiap orang mempunyai pedoman untuk meminimalkan resiko bencana saat mendirikan bangunan,” terangnya.
Narasumber kedua yaitu Robertus Aji Nugroho PhD, yang fokus pada ulasan mengenai ‘Big Data untuk Tata Ruang Kota yang Tanggap Bencana’ dan melengkapi materinya untuk lebih fokus pada epidemic health Intelligence, memaparkan soal pentingnya big data tidak hanya untuk bisnis saja. Melainkan juga bisa digunakan diantaranya untuk situation awareness, surveillance, atau bahkan untuk keperluan darurat.
“Kita sulit sekali mendapatkan data yang real, karena banyak sekali hal yang belum kita miliki, seperti halnya data integrated medical record yang diperlukan untuk penanganan pandemi corona di Indonesia,” ucap Aji.
Hal itu terjadi karena pada umumnya di Indonesia belum memiliki medical record yang terintegrasi sehingga dampaknya penanganan pandemi corona tidak bisa dilakukan sejak awal, sementara di beberapa negara lain yang memiliki integrated medical record bisa langsung dijaga sejak awal dalam konteks tertentu.
Selain itu, ada pula masalah lain yakni sulitnya memodelkan people mobility (movement) yang diperlukan untuk memprediksi naik turunnya kurva pandemi corona. Tetapi di sisi lain dalam people mobility di Indonesia yang pada saat pandemi corona ini sangat aktif dan meningkat tajam penggunaan social media-nya.
"Terdapat sisi positif karena mereka sangat “cerewet sekali” di social media, apa pun diomongkan di social media sehingga dengan demikian bisa menguntungkan bagi kita karena bisa menjadi sarana yang efektif untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita. Bahkan bisa juga digunakan untuk mitigasi sebelum viral, sebutnya.
Aji menambahkan Tidak ada satu negara pun di dunia yang siap menghadapi pandemi corona, namun harapannya dengan adanya health intelligence dapat meningkatkan kapasitas local government pada berbagai level untuk bisa membuat response plans yang efektif.
Narasumber ketiga yaitu dari Aktivis HAM, Asia Justice and Rights; Samsidar dalam paparannya mengulas tentang hak-hak pada manusia yang terdampak bencana. Menurutnya hak-hak korban bencana harus terlindungi dan bisa didapatkan pada saat terjadi bencana.
Lalu narasumber keempat yaitu seorang penyair bernama Weslly Johannes dalam materinya lebih membahas tentang kearifan lokal. Bagaimana kearifan lokal di daerah-daerah terutama di daerah Ambon bisa membuat warga kota yang terdampak bencana bisa tumbuh hasrat untuk saling membantu dan menolong satu sama lain.
►https://kuasakata.com/read/berita/16367-psu-unika-soegijapranata-kaji-kepekaan-kota-terhadap-bencana
berita serupa: