Ditengah fokusnya pemerintahan menangani Covid-19. Banjir, tanah longsor, erupsi gunung merapi, maupun gempa, acap kali mengintai sejumlah wilayah di Jateng.
Seperti gempa bumi yang beberapa waktu lalu mengguncang wilayah Jateng dan DIY, serta erupsi Gunung Merapi.
Bahkan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, terdapat 12 sesar aktif atau patahan lempengan bumi yang menjadi penyebab gempa di wilayah Jateng DIY.
Dosen Magister Arsitekstur Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Wiyatiningsih, menjelaskan
kesiap siagaan bencana tetap harus dilakukan di tengah pandemi Covid-19.
"Pembatasan pembangunan fisik di daerah rawan bencana harus dilakukan untuk mengurangi resiko bencana, misalnya di daerah jalur aliran lahar Gunung Merapi," katanya, Jumat (24/7/2020).
Dilanjutkannya, kebijakan yang mengatur pembatasan pendirian bangunan di daerah rawan bencana juga harus mulai dilakukan.
"Misalnya dalam RTRW harus menyiapkan sarana prasarana apabila terjadi bencana, ataupun zonasi ruang dalam sebuah wilayah. Termasuk penyiapan jaringan jalan dan ruang terbuka yang dapat berfungsi sebagai jalur evakuasi," paparnya.
Dikatakannya, diperlukan peraturan atau strategi mitigasi terkait struktur dan konstruksi bangunan di wilayah rawan bencana.
"Bangunan di wilayah rawan gempa harusnya dibuat tahan gempa, dengan menerapkan struktur serta bahan bangunan yang aman apabila terjadi bencana tersebut. Hal itu harusnya mulai diatur untuk meminimalkan resiko bencana," ucapnya.
Terpisah Ketua Pusat Studi Urban (PSU) LPPM Unika Soegijapranata, Trihoni Nalesti Dewi, menjelaskan perencanaan tata kota di Indonesia tidak siap menghadapi bencana.
"Apalagi bencana yang terjadi secara bersamaan, jadi sudah waktunya untuk berpikir bagaimana membangun tata kota yang peka terhadap bencana dari sisi makro maupun mikro guna meminalisir resiko bencana yang acap kali mengintai," tambahnya.