Pusat Studi Wanita (PSW) Unika Soegijapranata Semarang menyelenggarakan diskusi bertajuk “Tinjauan Kritis RUU Ketahanan Keluarga”, di Ruang Rapat LPPM, Gedung Mikael lantai 4, Senin (2/3/2020).
Tema ini dipilih PSW Unika karena belakangan ini hal tersebut masih menjadi pembahasan dan masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas, serta belakangan ini menuai pro kontra dari berbagai kalangan baik dari politisi maupun masyarakat umum.
Ketua PSW Unika Soegijapranata Dr Rustina Untari di sela-sela acara, menyampaikan maksud dari diselenggarakannya kegiatan diskusi yang membidik tema tentang RUU Ketahanan Keluarga ini.
“Acara diskusi ini kami selenggarakan untuk menghindari eksklusivitas dan mendorong terjadinya inklusi baik pada perempuan maupun anak-anak, oleh karena itu segala hal yang terkait dengan hal tersebut, kami dorong agar dikaji dan kami bisa mengambil peran positif supaya tidak terjadi eksklusivitas terhadap perempuan ataupun anak-anak,” urainya.
Dalam diskusi ini, PSW Unika menghadirkan dua pembicara utama, yaitu Donny Danardono SH Mag Hum sebagai salah satu dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, serta Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang Evarisan SH MH.
Penolakan
Dalam keterangan persnya, Donny menerangkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga mendapatkan berbagai penolakan dari banyak pihak sejak RUU tersebut diumumkan kepada masyarakat luas.
“Penolakan itu memang benar ada karena dalam RUU tersebut memungkinkan negara mengintervensi dalam keluarga, padahal diyakini selama ini keluarga adalah wilayah privat. Jadi makna privat tersebut berarti segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga itu merupakan urusan otonom dari yang ada dalam keluarga itu sendiri yaitu orang tua atau suami-isteri beserta anak-anaknya,” ujar Donny.
Demikian pula hal yang sama juga dilontarkan oleh narasumber Evarisan. Ia menerangkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga ini sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, karena persoalan yang terjadi di masyarakat adalah seperti tingginya angka perceraian.
Namun solusinya pun mestinya bukan dengan menghadirkan RUU tersebut. Sebab jika dilihat dari filosofinya tidak sesuai dengan isi atau substansi dari RUU yang ditawarkan.
Menurutnya, sudah sangat jelas dalam konteks hak asasi manusia, negara itu harus menghormati hak asasi manusia. Menghormati itu salah satunya adalah dengan tidak mencampuri urusan privat atau individu warganegaranya, sementara dalam RUU Ketahanan Keluarga justru Negara diberi ruang yang sangat besar campur tangan. Sehingga hal tersebut jelas melanggar konstitusi.
“Disamping itu juga dalam RUU tersebut banyak tumpang tindih dalam pasal-pasalnya, yaitu di antaranya ada di UU perkawinan, UU Perlindungan Anak, Jaminan Sosial, lalu UU kesehatan, UU Pendidikan,dan UU HAM,”ujar Evarisan.
►https://suarabaru.id/2020/03/05/ruu-ketahanan-keluarga-dibutuhkan-atau-tidak/