Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga dinilai tak penting dan diskriminatif. Sebab, RUU yang sedang ramai diperbincangkan itu mengatur urusan penataan ruang rumah hingga peran istri dalam keluarga.
Hal itu disampaikan dosen hukum Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang Donny Danardono dalam diskusi bertajuk “Tinjauan Kritis RUU Ketahanan Keluarga” di Unika Soegijapranata, Senin (2/3/2020).
Menurutnya, banyak penolakan atas RUU itu. Sebab dinilai sebagai bentuk intervensi negara dalam urusan rumah tangga. Pasalnya, keluarga merupakan wilayah privat anggotanya. Seharusnya seseorang maupun negara tak berhak mencampuri urusan privat rumah tangga.
“Apalagi sampai mengatur urusan penataan ruang rumah. Membuat batasan karakteristik rumah layak huni. Padahal, apa-apa yang terjadi dalam rumah tangga adalah keputusan otonom keluarga,” ucapnya.
Dalam RUU Ketahanan Keluarga, hal itu diatur dalam Pasal 33. Karakteristik rumah layak huni yang dimaksud pasal tersebut salah satunya adalah memiliki ruang tidur tetap dan terpisah antara orang tua dan anak serta terpisah antara anak laki-laki dan anak perempuan. “Jadi RUU ini memang tepat ditolak. Jika disahkan dan berlaku, berarti mengalami kemunduran. Kembali ke Orde Baru,” tuturnya.
Perwakilan dari Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Evarisan mengatakan RUU Ketahanan Keluarga mengancam hak dan peran istri dalam keluarga. “Bahkan sangat patriarki. Sebab istri diwajibkan memenuhi hak-hak suami dan mengurus urusan rumah tangga. Tidak disebutkan wajib berperan dalam perekonomian keluarga. Peran istri sebatas di rumah tangga,” ucapnya.
Menurut Eva, hal itu sangat bertentangan dengan HAM. Padahal negara seharusnya wajib menghormati dan menjamin hak asasi warga negaranya. “RUU itu tumpang tindih. Banyak yang sudah termuat dalam UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, tetapi diatur lagi dalam RUU itu,” pungkasnya.