Kabupaten Malaka, sebagaimana Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) pada umumnya masih sangat kekurangan tenaga dokter, terutama dokter spesialis.
Demikian diungkapkan Bupati Malaka, dr. Stefanus Bria Seran, MPH (SBS) ketika membawakan materi pada kegiatan Seminar Nasional Dies Natalis I Fakultas Kedokteran Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, dengan tema, Mempersiapkan Lulusan Dokter untuk DTPK yang digelar di Ruang Teater, Gedung Thomas Aquinas, Kampus Universitas tersebut, Jumat (14/2/2020).
Menurut Bupati Malaka, saat ini daerah yang dipimpinnya sudah memiliki cukup tenaga dokter umum, perawat dan tenaga paramedis lainnya, tetapi masih sangat kekurangan tenaga dokter spesialias.
Karena itu, tambah Bupati Malaka, pihaknya telah mengambil beberapa kebijakan yang bertujuan sebagai stimulus agar dokter spesialis bersedia untuk bertugas di daerah perbatasan RI-RDTL tersebut.
”Kami terus membangun fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Tetapi kami masih kekurangan tenaga dokter spesialis. Mungkin, Indonesia masih kekurangan tenaga spesialis. Mungkin juga karena tenaga dokter spesialis yang ada enggan ke sana karena jauh dan belum ada jaminan hidup yang layak. Karena itu kami upayakan berbagai kebijakan, antara lain, insentif yang memadai, fasilitas untuk hidup serta kelengkapan sarana dan prasarana pendukung”, ungkap Bupati Malaka.
Sementara, pemateri lain dalam seminar tersebut, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MAS, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan, salah satu cara untuk mendorong sebaran dokter supaya merata, khususnya di wilayah Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), diperlukan penguatan komitmen pemerintah, khususnya dalam hal perencanaan kurikulum yang tepat.
Hal ini dirasa perlu, karena kondisi DTPK memiliki beberapa keterbatasan bila dibandingkan dengan daerah padat penduduk, misalnya kondisi infrastruktur dan fasilitas umumnya yang masih sangat terbatas.
“Perlu sinkronisasi dunia pendidikan khususnya kurikulum di masing-masing fakultas kedokteran. Harus ada teknik khusus memberikan minat tinggi kepada dokter untuk mengabdi ke suatu daerah. Kurikulum ilmu kedokteran di pendidikan harus pula aplikatif di lapangan”, ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, pemenuhan tenaga dokter bisa silakukan melalui pola pendayagunaan sesuai kondisi lokal wilayah masing-masing. Sebab, selama ini masih terjadi ketimpangan penyebaran dokter khususnya dokter spesialis.
“Padahal, lulusan dokter per tahun lebih dari 12.500 dari 91 Fakuktas Kedokteran yang ada di Indonesia. Jumlah ini semestinya dapat memenuhi kebutuhan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan. Namun faktanya, masih ada puskesmas yang tidak memiliki dokter, sementara puskesmas lainnya memiliki beberapa tenaga dokter”, tambahnya.
Terkait ini, Andreasta mengingatkan, agar pendistribusian tenaga dokter bisa memperhatikan rasio ketersediaan dokter antar provinsi yang kesenjangannya cukup besar. Redistribusi yang sulit dilakukan juga menjadi masalah krusial. Banyak dokter enggan ditempatkan di DPTK.
Ia mengatakan kondisi tersebut dimungkinkan karena wilayah DPTK memiliki keterbatasan akses, geografis sulit, serta keterbatasan sarana prasarana pelayanan kesehatan.