Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang, menggelar seminar Ruang Rabu Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) dengan tema, ‘Kajian Kota dan Lingkungan melalui Lensa Streetphotography’.
Seminar yang digelar tengah pekan ini di Teater Thomas Aquinas, Gedung Thomas Aquinas Lantai 3, mengundang pembicara Erik Prasetya, sebagai salah satu dari 20 fotografer Asia paling berpengaruh (Invisible Asian Photografer).
Ruang Rabu sendiri merupakan forum publik, yang dibentuk Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika. Ruang Rabu membahas mengenai permasalahan lingkungan, perkotaan, serta mengenai sastra.
Selain itu, melalui forum ini, pihak PMLP juga mengadvokasi kelompok masyarakat yang berhadapan dengan aparatur pemerintah, dalam persoalan pembangunan seperti masyarakat di sekitar pegunungan Kendeng.
Streetphotography atau foto jalanan, merupakan bagian dari perwujudan dari mata seseorang untuk melihat dan menangkap hubungan antarmanusia, atau antara manusia dengan bangunan serta alam.
Erik Prasetya sendiri, termasuk dalam 20 fotografer paling berpengaruh di Asia, menurut The Invisible Photography Asia pada 2012. Erik pernah menempuh pendidikan di Jurusan Tambang Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun dia memutuskan untuk menjadi fotografer. Erik juga bekerja untuk foto jurnalistik, antropologi, serta iklan. Tetapi yang utama, minatnya pada streetphotography.
”Saya menjadi pembicara dalam Ruang Rabu ini, karena saya ingin berbagi pengalaman memotret. Dan saya ingin ini menyebar di antara para penyuka streetphotography agar mereka memotret sambil mempelajari dan bercerita tentang kota,” kata Erik dalam seminar itu.
Diungkapkannya, dia juga memakai indera dan pengetahuannya, untuk menceritakan apa yang terjadi di kota. Menurut Erik, terlepas dari teknik yang tidak dibicarakan, estetika dianggap sangat penting.
Ketertarikan Erik dalam memotret, tentu saja karena pengalaman yang menarik saat dia terjun dan merasakan sendiri euforia memotret, dan mampu berada di situasi tertentu, lalu melaporkanya melalui beberapa hasil foto.
”Persoalan yang banyak ini, yang harus kita tahu. Ibaratnya, kita itu seperti orang yang meminjamkan tubuh dan skill, untuk berada pada situasi-situasi tertentu dan melaporkannya. Saat kita merasakan dengan tubuh sendiri, saat itu kita merasakannya,” tukas Erik Prasetya.
Selain memotret, Erik juga melakukan proyek pribadi mengenai poros Sudirman-Thamrin di Jakarta pada 1990, dan pernah menjadi fixer untuk Sebastian Salgado. Kemudian Erik Prasetya juga membuat buku foto yang berjudul Eros dan Reformasi (2019), Women on Street (2018), dan Jakarta Banal Aesthetic (2010).
#https://suarabaru.id/2022/08/28/streetphotography-coba-bidik-persoalan-kota-dan-lingkungan