Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan tindakan taksi berbasis aplikasi yang menaikkan tarif secara sepihak dapat dilaporkan kepada Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Wakil Ketua YLKI, Sudaryatmo menegaskan hal itu dalam keterangannya, Minggu, 17 Juli 2016. Sudaryatmo menanggapi maraknya keluhan dan pengaduan masyarakat terhadap pengenaan tarif sepihak oleh sejumlah taksi berbasis aplikasi, tanpa menginformasikan terlebih dahulu kepada penumpang.
"Sanksinya bisa dikenakan denda, apabila taksi berbasis aplikasi itu sampai menaikkan tarif tidak sesuai dengan regulasi yang sudah ditetapkan," kata Sudaryatmo.
Seperti diketahui, belum lama ini beredar keluhan masyarakat melalui media sosial mengenai tarif taksi online yang sangat mahal. Sebagai contoh, pada 8 Juli 2016, seorang pengguna taksi online harus membayar Rp492 ribu dari Bandara Soekarno-Hatta ke Margonda-Depok. Padahal, biasanya tarif untuk jarak tersebut hanya Rp190 ribu.
Sudaryatmo menilai, tindakan taksi berbasis aplikasi menaikkan tarif secara sepihak sudah melanggar persaingan usaha yang sehat, padahal perusahaan tersebut seharusnya mengikuti kebijakan tarif taksi sesuai yang ditetapkan pemerintah.
Dia menilai, taksi berbasis aplikasi telah melakukan "predatory pricing", yakni suatu strategi yang dilakukan dengan cara mengenakan tarif sangat rendah dengan tujuan mematikan pesaing, setelah berhasil memimpin pasar mereka kemudian mengenakan tarif sesuka-sukanya.
Sudaryatmo juga menduga telah terjadi pengerukan keuntungan yang sebesar-besarnya dari perusahaan penyelenggara taksi berbasis aplikasi kepada konsumen melalui kebijakan tarif tinggi, atau dikenal sebagai "excessive margin".
Dari dua dugaan tersebut, "predatory pricing" dan "excessive margin", seharusnya KPPU sudah dapat melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan taksi berbasis aplikasi. Apabila dugaan itu terbukti benar, KPPU dapat mengenakan sanksi berupa denda.
Senada dengan YLKI, pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan sejak awal pemerintah telah menegaskan taksi berbasis aplikasi/online harus mengikuti regulasi yang tertuang dalam Peraturan Kementerian Perhubungan No. 32 tahun 2016, termasuk mengenai tarif.
Tarif ini harus diawasi pemerintah, sehingga perusahaan pengelola taksi tidak dapat seenaknya menaikkan, atau menurunkan tarif.
"Saya khawatir, tidak semua masyarakat paham kenaikan tarif taksi online ini. Karena, anggapannya selama ini taksi online lebih murah," ujar Djoko.
Djoko mengatakan, seharusnya identitas perusahaan penyelenggara taksi online itu dilegalkan saja, sesuai dengan badan hukum yang berlaku di Indonesia. Sehingga, mereka mengikuti seluruh peraturan yang berlaku sebagai perusahaan penyelenggara layanan taksi.
"Perusahaan taksi online ini harus diberlakukan sama dengan perusahaan taksi konvensional. Aplikasi itu, hanyalah alat sebagai cara mudah untuk mendapatkan layanan," ujar Djoko.
Djoko mengatakan, berdasarkan laporan masyarakat, seharusnya Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta sudah bisa melakukan tindakan terhadap penyelenggara taksi online. (ase)
Tautan : http://m.news.viva.co.id