Oleh: dr. Indra Adi Susianto, MSI.MED, SPOG, Dekan Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata Semarang
SAAT ini Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) sebagai pademi global, sehingga oleh pemerintah RI keadaan pademi ini digolongkan sebagai bencana non alam atau wabah penyakit yang harus dilakukan serangkaian penanggulangan serta pencegahan dengan serius.
Baik WHO maupun pemerintah RI mengunakan metode physical distancing atau membuat jarak fisik demi memutus rantai penularan baik dari OTG, OPD, PDP dan tenaga kesehatan menggunakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Disaat era internet yang maju, kita tetap bisa terhubung dengan berbagai cara tanpa berada di dalam ruangan yang sama seperti ruang konsultasi dokter. Langkah ini tidak ‘Derail’ bahwa terputusnya hubungan pasien dan dokter meskipun melalui gadget.
Sesuai peraturan pemerintah yang tertuang dalam PP no 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan dan Peraturan yang dikeluarkan Konsil Kedokteran no 47 tahun 2020 tentang kewenangan klinis dan praktik dokter melalui pelayanan telemedice pada masa Pademi Corona ini memberikan kewenangan klinis tambahan kepada dokter umum, maupun dokter spesialis termasuk dokter gigi yang mempunyai surat tanda registrasi dan surat izin praktik yang berlaku dalam menjalankan profesionalisme sesuai kompentensinya melakukan praktik melalui telemedicine baik melalui smartphone atau pelayanan digital lainnya sesuai tempat fasilitas pelayanan kesehatan dimana tempat dokter itu bernaung.
Telemedicine di Indonesia
Menurut salah satu Lembaga riset digital marketing, penggunan smartphone oleh penduduk Indonesia yang merupakan salah satu raksasa teknologi digital Asia dan pada tahun 2019, Indonesia mengalami peningkatan menjadi urutan ke-5 dengan jumlah pengguna internet terbanyak lebih dari 171 juta dari total 264 juta penduduk Indonesia secara aktif menggunakan gadgetnya.
Sesuai dengan data yang dihimpun dari pusat data Kementrian Kesehatan (Kemenkes) 2019 bahwa jumlah pemakai telemedicine mencapai 9.228 pengguna. Data ini merilis bahwa pengguna yang tertinggi di Jawa Timur sebesar 1.533 pengguna diikuti daerah lain yang masih didominasi di wilayah Jawa dan Sumatra. Dan data kemenkes 2019, ternyata pengguna telemedicine dipelayanan tingkat dasar di puskemas adalah yang terbanyak yaitu sebanyak 6.154 pengguna sedangkan hanya 2.801 pengguna yang mengakses ke rumah sakit.
Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan primer di Indonesia sudah menjadi yang pertama diakses oleh pengguna yang menandakan bahwa fungsi preventif kesehatan di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Menurut data global market telemedicine 2019 diproyeksikan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan layanan medis berbasis digital (telemedicine) yang signifikan di setiap tahunnya dengan besaran 5-5,5% per tahun.
Praktik Telemedicine kepada pasien dimulai dari penilaian kelaikan pasien setelah ada persetujuan atau informed consent yang jelas oleh admisi atau dokter yang sudah dilatih dan apabila ditemukan hal-hal ke gawat daruratan harus segera dianjurkan kefasilitas kesehatan disertai informasi yang relevan. Selain konsultasi mengunakan sistem telemedicine, pasien juga diharuskan menyertakan data diri seperti berat badan, tinggi badan, suhu badan, tensi, dan lainnya sebagai data dasar dokter memberikan resep atau obat.
Setelah informasi terkini disarnpaikan melalui daring, maka dokter yang dituju akan mencatat direkam medis yang disediakan oleh rumah sakit dan kemudian menuliskan resep obat setelah menyimpulkan berdasarkan keluhan dan data diri dari pasien. Selanjutnya resep obat secara elektronik akan diteruskan kebagian farmasi untuk disesuaikan dengan data rumah sakit terhadap riwayat pasien terhadap obat tersebut seperti alergi atau resistensi atau sejenisnya.
Pihak rumah sakit akan merangkum hasil telemedicine ini dalam bentuk resume yang berisi mulai dari keluhan pasien sampai aturan minum obat sebelum dikirim ke pasien. Rangkaian sistem telemedicine ini berprinsip kehati-hatian dan akuntabilitas yang tinggi sehingga memberi kepastian hukum tidak hanya bagi Rumah Sakit tetapi juga menjaga hubungan professional antara dokter dan pasien tetap menjamin kerahasian medis.
Meskipun peraturan pemerintah dan peraturan konsil kedokteranin untuk telemedicine ini hanya diperbolehkan selama pademi Covid-19 saja, tetapi perkembangan teknologi ini memiliki dampak sangat signifikan dalam mengubah tatanan dunia kesehatan dengan tetap mengedepankan nilai dan norma untuk saling menghormati.
►Tribun Jateng, 15 Mei 2020 hal. 2