Masyarakat menaruh harapan tinggi terhadap terapi plasma konvalesen, sebagai cara untuk bisa segera sembuh dari covid-19. Apalagi informasi yang tersebar di tengah masyarakat, terapi tersebut sangat manjur.
Imbasnya, permintaan plasma konvalesen pun meningkat, bahkan muncul calo atau penjual plasma dengan meminta harga yang tinggi.
“Sebenarnya, ada yang harus dipahami oleh masyarakat, bahwa sampai saat ini, terapi plasma konvalesen ini belum terbukti secara definitif, dalam mengobati covid-19. Ini merupakan terapi tambahan, di luar pengobatan utama yang menggunakan obat antivirus dan lainnya,” papar Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Daerah Jateng, dr. Agus Suryanto, dalam webinar ‘Mencegah Praktik Calo Plasma Konvalesen’, yang digelar secara daring di Semarang, Jumat (30/7/2021).
Bahkan sampai saat ini, pihaknya meminta rumah sakit yang menjadi anggota Persi, untuk meminta persetujuan dari pasien atau perwakilan keluarga, terkait pemberian plasma konvalesen tersebut.
Hal tersebut dilakukan sebab banyak permintaan terapi plasma konvalesen tersebut, muncul dari pasien atau keluarga pasien. Kemudian dokter yang menangani, melakukan pertimbangan apakah terapi tersebut bisa dilakukan atau tidak.
“Pasien atau perwakilan keluarga, harus menandatangani surat persetujuan. Dijelaskan juga, bahwa pengobatan dengan metode ini belum ada bukti yang definitif. Ini perlu dilakukan, karena harapan masyarakat itu sangat besar terhadap terapi konvalesen, sehingga apabila hasilnya tidak sesuai dengan harapan, akan timbul dilema di rumah sakit,” terangnya.
Tidak hanya itu, Agus menyebutkan bahwa saat ini ada beberapa rumah sakit yang menghadapi persoalan hukum terkait covid-19.
“Hal ini terjadi karena ada perbedaan harapan dan kenyataan. Untuk itu, surat persetujuan ini kita dorong agar diterapkan,” tandasnya.
Di satu sisi, pihaknya juga mendorong agar setiap rumah sakit, melakukan pengkajian teknologi kesehatan terkait kebijakan metode pengobatan baru yang dilakukan, termasuk dalam terapi plasma konvalesen.
“Jika pun sudah ada kajian di tingkat nasional, terhadap pengobatan yang sudah menjadi standar nasional itu, maka kajian dari rumah sakit akan memperkuat informasi atau memperkuat justifikasi dalam penentuan standar pelayanan,” tegasnya.
Pihaknya berharap agar rumah sakit melakukan pengkajian teknologi kesehatan. ”Kajiannya harus ada. Apa pun hasilnya. Apakah plasma konvalesen pilihannya dalam mengobati covid, hanya klinis yang tahu. Apakah bisa mengobati, sekarang belum ada uji klinis yang menyatakan betul dapat mengobati covid-19,” jelasnya.
Sementara, pakar biologi molekuler Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata Semarang, Dr. Sugeng Ibrahim M. Biomed, menjelaskan, sesuai dengan pedoman tata laksana covid19 yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), obat utama covid-19 adalah anti virus. “Ada macam-macam, terapi obat antivirus yang digunakan sebagai pengobatan utama, kemudian ada terapi tambahan, mulai dari terapi O2, plasma konvalesen, hingga terapi punca atau stem cell,” terangnya.
Dari gradasi penderita covid-19 skala ringan, sedang, berat dan kritis, terapi konvalesen optimal diterapkan pada kasus sedang dan berat. Sementara untuk kategori kritis, tidak disarankan dan lebih condong ke terapi punca atau stem cell.
“Selain itu, tidak semua orang yang sudah negatif covid-19, bisa menjadi donor plasma konvalesen. Bahkan persentasenya, hanya 20 persen. Artinya dari 100 orang pendonor, yang bisa hanya 20 orang,” tambahnya.
Hal tersebut dikarenakan ada persyaratan minimal yang harus dipenuhi, yakni antibodi covid-19 minimal 132, kemudian memiliki secreting plasmacytoid DC sebagai terapi terbaik.
“Waktu terbaik untuk menggunakan terapi plasma konvalesen ini, pada fase inkubasi di hari ke-7 hingga hari ke -11. Di luar itu, sudah tidak signifikan. Apalagi ada faktor kesulitan dalam penyediaan tipe plasma konvalesen yang ideal, karena sangat kompleks,” tegasnya.
►https://www.cendananews.com/2021/07/terapi-plasma-konvalesen-belum-terbukti-untuk-covid-19.html