TAHUN 2015 telah kita lalui dengan berbagai momentum bidang ekonomi yang cukup berdampak bagi bangsa kita. Perlambatan ekonomi sejak awal tahun, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang sempat mencapai titik terendah sejak tahun 1998 serta tingkat inflasi yang terus meningkat, telah menguras energi kita sebagai sebuah bangsa.
Pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, secara khusus telah menargetkan bahwa pemerintahan yang baru ini untuk “lari“ mengejar ketertinggalan kita dengan beberapa negara tetangga, terutama untuk mengejar ketertinggalan dalam hal pembangunan infrastruktur yang menunjang perekonomian secara keseluruhan.
Memasuki lembaran baru tahun 2016, semangat optimisme agaknya mesti kita pelihara dan tingkatkan. Meski ditengah kondisi perekonomian dunia yang masih diliputi sentimen negatif sebagai dampak kenaikan suku bunga The Fed menjadi 0,5 persen, kemungkinan perlambatan ekonomi China sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia serta ketidakpastian harga komoditas utama dunia, tanda-tanda perbaikan ekonomi mulai menampakkan arah stabil (meski belum dapat dikatakan membaik). Dalam Nota RAPBN 2016 yang telah diajukan oleh Pemerintah pada DPR, beberapa asumsi utama yang diajukan adalah: (1) pertumbuhan ekonomi 5,5 persen; (2) inflasi 4,7 persen; (3) nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Rp13.400, dan (4) harga minyak mentah Indonesia USD 60 per barrel.
Berkaca pada riwayat sebelumnya, serta market outlook dari beberapa research analyst dunia, asumsi-asumsi yang diajukan tersebut nampaknya cukup feasible terkecuali pada asumsi harga minyak dunia. Pasokan minyak dunia pada posisi menjelang akhir tahun ini relatif dalam jumlah yang melimpah. OPEC sebagai asosiasi negara-negara pengekspor minyak dunia juga telah menyatakan tidak akan merevisi lifting produksi minyaknya, disamping itu berdasarkan rilis terbaru OPEC disampaikan bahwa kemungkinan harga minyak dunia mencapai level USD 70 paling cepat baru dapat dicapai pada tahun 2020. Dengan demikian dapat disimpulkan sementara harga minyak dunia cenderung tidak akan banyak bergerak. Sebagai informasi harga minyak dunia pada penutupan 24 Desember 2015 (Brent Crude) adalah pada USD 37,36 per barrel.
Poin penting yang menurut penulis harus kita jaga momentumnya adalah justru memastikan tercapainya target pertumbuhan ekonomi di angka 5,5 persen tahun 2016 ini, dengan memanfaatkan semua plus minus asumsi-asumsi ekonomi yang ada. Menurunnya harga minyak di satu sisi memang mengurangi pendapatan sektor migas kita, namun di sisi lain akan mengurangi dampak inflasi, yang pada akhirnya memperkuat posisi daya beli masyarakat. Sebagai negara yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi dalam negeri, tentu hal ini menjadi menarik.
Di sisi lain, dampak gonjang-ganjing kenaikan suku bunga The Fed yang telah menemukan jawabannya yakni terjadi kenaikan sebesar 50 basis point pada Desember 2015 menjadi 0,5 persen. Momen ini dapat menjadi pegangan bagi pelaku dunia usaha, bahwa tren kedepan diperkirakan pasokan Dollar Amerika akan cenderung semakin ketat. Berbagai langkah untuk mengamankan sektor usaha yang langsung ter-expose dengan penggunaan mata uang Dollar Amerika perlu dilakukan.
Akhirnya 1 kata generik yang harus senantiasa kita siapkan sebagai “amunisi” kita untuk mengarungi tahun 2016, yakni optimisme. (*)
Oleh:
Agung Sugiarto
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang
sumber : www.radarsemarang.com