Oleh: Andreas Lako
Guru Besar Akuntansi Hijau; Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang
Dalam sejumlah seminar dan diskusi, saya sering ditanya peserta: “Apa yang perlu dilakukan calon gubernur-wakil gubernur (cagub-cawagub) untuk memajukan dan menyejahterakan Jawa Tengah ke depan apabila mereka terpilih menjadi Gubernur dan Wagub Jateng 2018-2023 dalam Pemilu nanti?
Jawaban saya terhadap pertanyaan itu adalah: “Cagub-cawagub yang terpilih nanti harus bekerja keras untuk mewujudkan Visi Pembangunan Jangka Panjang Jateng 2005-2025 yaitu mewujudkan Jateng yang mandiri, maju, sejahtera dan lestari.”
Jawaban itu didasarkan pada hasil studi saya terhadap hasil pembangunan Jateng selama 2000-2017. Dari hasil studi itu, tampak meskipun kinerja pembangunan Jateng dalam 13 tahun terakhir terus bertumbuh dan hasilnya telah berdampak positif menurunkan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat dari tahun ke tahun, namun besaran kenaikan dan implikasi positifnya tidak signifikan.
Sebagai contoh, hasil pembangunan telah meningkatkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB atas dasar harga berlaku) secara pesat dari Rp 234,44 triliun (2005) menjadi Rp 623,5 triliun (2013) dan Rp 1.187,05 triliun (2017). Namun, dampaknya terhadap penurunan kemiskinan lambat yaitu dari 6,53 juta orang (2005) menjadi 4,81 juta orang (2013) dan 4,2 juta orang (2017). Selama 4 tahun kepemimpinan Ganjar-Heru (2013- 2017), penurunan kemiskinan juga hanya 611 ribu orang (14,55%). Dampaknya terhadap kenaikan pendapatan per kapita juga relatif kecil yaitu dari Rp 19,2 juta (2010) menjadi Rp 24,96 juta (2014) dan Rp 34,3 juta (2017).
Karena itu, siapapun yang bakal terpilih menjadi Gubernur-Wagub nanti bakal menghadapi sejumlah tantangan serius yaitu bagaimana mewujudkan Jateng yang makin mandiri, maju, sejahtera dan lestari. Apalagi Jateng juga akan menghadapi gelombang disruptif ekonomi yang serius dan kompleks akibat Revolusi Industri 4.0.
Isu krusial-strategis
Siapapun pasangan yang bakal terpilih menjadi Gubernur-Wagub dalam Pilkada 27 Juni 2018 nanti hendaknya menyadari bahwa Jateng memiliki sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan yang krusial yang harus mendapat perhatian serius untuk diatasi. Ada tujuh isu krusial-trategis dalam pembangunan Jateng ke depan.
Pertama, kesenjangan antarwilayah masih sangat tinggi. Meski terjadi penurunan kesenjangan yang cukup berarti (diukur dengan indek Williamson) dari 0,6411 (2012) menjadi 0,617 (2017) karena keberhasilan pembangunan infrastruktur yang masif selama 2014-2016, namun kesenjangan antarwilayah di Jateng masih sangat tinggi.
Kedua, kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat masih cukup lebar. Laporan BPS (September 2017) menunjukkan bahwa ketimpangan antar 40% kelompok masyarakat berpendapatan rendah (KMBR) dengan 40% kelompok masyarakat berpenghasilan menengah (KMBM) dan 20% kelompok masyarakat berpendapatan tinggi (KMBT) masih cukup lebar. KMBR hanya menguasai pendapatan 18,10%; sementara KMBM menguasai 38.31% dan KMBT menguasai 43,59%. KMBM adalah kelompok masyarakat yang paling banyak menikmati “kue” hasil pembangunan dalam 4 tahun terakhir. Pelaku UMKM termasuk kelompok masyarakat yang banyak menikmati “kue” tersebut.
Ketiga, jumlah penduduk miskin masih sangat banyak, terutama di wilayah kabupaten-kabupaten dengan tingkat kemiskinan di atas 14,5%. Meski pemerintahan Ganjar-Heru berhasil menurunkan jumlah kemiskinan dari 4,811 juta (2013) menjadi 4,197 juta orang ( 2017), namun jumlah penduduk miskin 4,197 juta termasuk masih sangat besar. Pada 2017, Jateng merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar kedua setelah Jatim.
Keempat, pendapatan per kapita masyarakat Jateng masih tergolong rendah, khususnya pada 40% kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Meski nilai pendapatan per kapita terus meningkat dari Rp 27,52 juta menjadi Rp 34,29 (2017), namun besaran tersebut sesungguhnya masih tergolong rendah.
Kelima, meski terus mengalami penurunan dalam 4 tahun terakhir, namun jumlah dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jateng masih cukup besar, yaitu berkisar 700 ribu hingga 760 ribu orang. Meski TPT terus menurun dari 6,01% (2013) menjadi 4,57% (2017), namun jumlah pengangguran terbuka dan terselubung masih banyak. Pengangguran terbesar berasal dari lulusan SMK, SMA dan Diploma.
Keenam, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Jateng masih belum ideal, khususnya di sejumlah kabupaten dengan tingkat kemiskinan di atas 12,5%. IPM yang ideal adalah di atas 70. Meski IPM Jateng terus naik dari 68,02 (2013) menjadi 69,98 (2016) dan sangat mungkin akan mencapai 70,41 (2017), namun kenaikan itu sangat lambat. Angkanya juga masih belum ideal. Masih ada 17 kabupaten (50%) yang IPM-nya di bawah 70.
Ketujuh, perekonomian Jateng sangat tergantung pada sektor Industri Pengolahan, Pertanian, Perdagangan dan Reparasi, Konstruksi dan Jasa Pendidikan. Kontribusi dari lima sektor tersebut dalam penciptaan nilai ekonomi (PDRB) sekitar 79%. Kelima sektor tersebut juga menyerap tenaga kerja sekitar 93%. Dari lima sektor tersebut, sektor pertanian yang dalam struktur PDRB hanya berkontribusi sekitar 15% dan menempati urutan ketiga, justru menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar sekitar 5,1 juta orang (31%) dibanding sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan yang menempati urutan pertama dan kedua.
Perlu terobosan baru
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan krusialnya adalah apa strategi pembangunan yang tepat yang sebaiknya dilakukan Gubernur-Wagub baru dan SKPD Jateng untuk mempercepat terwujudnya Jateng yang makin mandiri, maju, sejahtera dan lestari?
Menurut hemat saya, strateginya adalah Gubernur-Wagub baru perlu melakukan terobosan-terobosan baru yang out of the box dalam perumusan dan pelaksanaan strategi dan kebijakan pembangunan berkelanjutan daerah Jateng. Saya mengusulkan tujuh terobosan baru.
Pertama, merumuskan nilai-nilai keutamaan (core values) pembangunan Jateng dan kemudian menginternalisasikannya ke dalam tatakelola pemerintahan dan pembangunan daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Core values Jateng tersebut harus sudah masuk dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jateng Tahun 2018-2023 agar bisa dijadikan pijakan utama pemerintah dan semua stakeholder dalam penyusunan visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan daerah.
Kedua, mempercepat penurunan kesenjangan antarwilayah dengan memperkuat dan memperluas pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, pendidikan dan lainnya) pada wilayah-wilayah tertinggal. Pembangunan infrastruktur sangat penting karena merupakan kunci utama untuk: 1) mengurangi kesenjangan antarwilayah dan kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, 2) mengurangi kemiskinan dan pengangguran, 3) meningkatkan pendapatan masyarakat; 4) menaikkan nilai tukar petani (NTP), dan 5) meningkatkan kinerja perekonomian daerah.
Ketiga, mengurangi jumlah penduduk miskin dari 4,2 juta orang (2017) menjadi 1,8 juta -2,2 juta orang pada 2023. Terobosan tersebut dapat dilakukan melalui program-program Pembangunan Berkelanjutan berbasis ekonomi kerakyatan dan gerakan “CSR Bersama Pengentasan Kemiskinan Jateng.” Program-program pembangunan untuk pengentasan kemiskinan juga perlu difokuskan pada 20 Kabupate
n yang memiliki tingkat kemiskinan di atas 10%.
Keempat, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat melalui program-program pembangunan ekonomi, industri dan masyarakat yang ramah lingkungan, serta berbasis pada kekuatan sumberdaya ekonomi lokal. Pembangunan tersebut dapat dilakukan melalui program-program pembangunan ekonomi kerakyatan berbasis koperasi dan UMKM, penguatan kinerja sektor-sektor usaha berbasis lapangan usaha, dan kemitraan strategis dengan dunia usaha dan para stakeholder utama daerah.
Kelima, mengurangi jumlah pengangguran terbuka dari 680 ribu–740 ribu orang (2017) menjadi 250 ribu – 290 ribu orang (2023). Terobosan tersebut dapat dilakukan melalui program: a) pembangunan ekonomi kerakyatan berbasis koperasi dan UMKM; b) penguatan kinerja sektor usaha berbasis lapangan usaha; c) kemitraan strategis dengan dunia usaha dan perguruan tinggi, d) peningkatan investasi baru yang ramah lingkungan (green investment); dan e) peningkatan kualitas dan kompetensi SDM tenaga kerja.
Keenam, meningkatkan IPM Jateng dari 70,41 (2017) menjadi 74,5 -75 (2023). Untuk itu, IPM pada kabupaten-kabupaten dengan tingkat kemiskinan di atas 10% perlu ditargetkan minimal 72. Untuk mencapai target itu, faktor-faktor penentu IPM propinsi dan kabupaten/kota perlu mendapat porsi yang besar untuk dibangun.
Ketujuh, penguatan tatakelola Pembangunan Berkelanjutan daerah berbasis Sustainable Development Goals (SDGs) dan terobosan kebijakan baru untuk memperkuat dan meningkatkan kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, konstruksi, jasa pendidikan dan sektor-sektor lainnya. Sektor-sektor tersebut perlu mendapat prioritas kebijakan karena kontribusinya terhadap nilai ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan rakyat sangat besar.
►Suara Merdeka 23 April 2018 hal. 4, http://www.suaramerdeka.com