Thomas Adi, arsitek yang juga anggota komunitas Oemah Udan menunjukkan dua botol air hujan yang sudah diolahnya dan dikemas untuk dijual, di samping untuk olahan berbagai sajian di Warung Jawi Pesisiran, Semarang, miliknya, Sabtu (12/8)
Dengan menampungnya, bisa membantu mencegah hujan menjadi `run off` (air larian) yang menyebabkan banjir
Panas terik yang menyengat kulit sudah menjadi hal biasa di Semarang sebagai salah satu kota besar yang memiliki banyak industri, apalagi letaknya di kawasan pesisir.
Namun, Sabtu (12/8) siang itu, sedikit berbeda ketika Antara berada di Warung Jawi Pesisiran yang berlokasi di Jalan Kaligarang, Semarang, milik Thomas Adi, arsitek yang juga pegiat komunitas Oemah Udan.
Cuaca yang terik, seketika langsung menjadi sejuk seiring hujan yang tiba-tiba turun dan gemericik air yang membasahi genting dan halaman, sementara di jalan dan bangunan kanan-kiri masih kering.
“Dinikmati dulu hujannya, sudah terasa kan sejuknya. Di sini, pengunjung memang bisa `request` hujan,” sapa sang pemilik restoran dengan ramah, ditemani kawannya yang juga anggota Oemah udan.
Sekitar 10 menit berlalu, hujan langsung reda ketika pria kelahiran Semarang, 2 Februari 1961 itu, meminta karyawannya “menghentikan” hujan, namun sudah cukup menyejukkan di tengah teriknya cuaca.
Ternyata, suami Anastasya Sri Widiastuti itu, menggunakan air hujan yang ditampungnya untuk membikin hujan lokal buatan di restorannya, berbekal pompa air dan instalasi pipa yang sederhana.
“Tanpa harus `request`, setiap pukul 11.00-14.00 WIB sebenarnya kami rutin membuat hujan di restoran ini. Ya, modalnya kan cuma listrik untuk pompa, airnya tidak beli karena dari air hujan,” ungkapnya.
Tak hanya hujan lokal buatan, Thomas juga menampung air hujan untuk diolahnya menjadi berbagai sajian di restoran miliknya yang baru dibukanya sekitar setahun lalu, sekaligus sebagai ikon bisnis kulinernya itu.
Di belakang restoran itu, terlihat dua bak tandon masing-masing berkapasitas 13 meter kubik dan 2 meter kubik untuk menampung air hujan, lengkap dengan perpipaan yang sudah ditata sedemikian rupa.
“Setelah ditampung, saya taruh di wadah-wadah kecil berbentuk bejana berhubungan yang dialiri listrik untuk proses ionisasi. Jadi, akan terpisah air yang bersifat basa dan air asam,” katanya.
Air yang bersifat basa memiliki kandungan pH (Potensial Hidrogen) atau derajat keasaman di atas 9 dan TDS (Total Disolved Solid) yang sangat rendah dibandingkan air minum yang biasa dikonsumsi.
“Derajat keasaman atau pH air yang biasa antara 6-7, sementara air kemasan sekitar 8. Lha ini pH-nya 9+. Dari TDS atau kandungan mineralnya, termasuk logam juga semakin sedikit,” jelas ayah tiga anak itu.
Kerap Disepelekan
Inspirasi Thomas untuk mengolah dan memanfaatkan air hujan itu berawal dari pertemuannya dengan Romo Kirjito dari Muntilan saat diundang pada ulang tahun imamatnya untuk memberikan paparan, tiga tahun lalu.
“Saya diminta membuat makalah bertema `Mentahtakan Air Hujan Dalam Arsitektur`. Saya akhirnya tersadar bahwa air adalah sumber kehidupan. Air sudah ada sebelum manusia diciptakan,” kata jebolan jurusan arsitektur Unika Soegijapranata Semarang itu.
Air hujan, lanjut sosok yang masih terlihat muda di usianya yang sudah hampir kepala enam itu, selama ini kerap disepelekan dan dipandang sebelah mata oleh manusia, padahal air hujan itu justru lebih murni dan bersih.
Ketika musim hujan, ucap dia, melimpahnya air dibiarkan begitu saja, sementara ketika musim kemarau bingung sedemikian rupa karena sulit mencari air sehingga mendasari keprihatinannya untuk mengolah air hujan.
“Kenapa air hujan? Karena lebih murni. Jadi, bahan dasarnya sudah bagus duluan sehingga diolah lebih mudah ketimbang air dari tanah. Apalagi, jumlahnya melimpah meski saat musim hujan. Ya, harus dimanfaatkan,” ujarnya.
Bahkan, hasil olahan air hujan yang memiliki pH 9+ dan TDS rendah sekali itu juga dijualnya berbentuk air kemasan dengan harga Rp5.000/botol atau lebih mahal separuhnya ketimbang air kemasan bermerek terkenal.
Jangan salah, Thomas bukan mau mengomersialkan air hujan yang diolahnya karena juga dijualnya tanpa merek, melainkan untuk menyadarkan masyarakat tentang manfaat penting dari air hujan yang selama ini disia-siakan.
“Sesuatu yang digratiskan biasanya disepelekan. Saya tidak mau air hujan disepelekan, makanya saya jual lebih mahal ketimbang air kemasan. Kalau dijual, apalagi mahal, kan dapat perhatian. Ya, untuk mengampanyekan,” katanya.
Bagi masyarakat yang ingin menerapkannya di rumah masing-masing justru disambut baik, sebab restorannya yang juga tempat berkumpul komunitas Oemah Udan juga membuka pelatihan mengolah air hujan dengan ionisasi.
“Justru saya senang sekali kalau semakin banyak yang ikut, minimal menampung air hujan di bak tandon. Intinya, melimpahnya air hujan jangan disia-siakan, tetapi harus dimanfaatkan dengan baik untuk kehidupan,” katanya.
Selain di restorannya, pengolahan air hujan itu dilakukannya di kediamannya di kawasan Mugas, Semarang, serta Desa Penadaran, Grobogan, bersama komunitas Omah Gong untuk membantu menyediakan air sehat bagi masyarakat.
“Sumber air di Desa Penadaran banyak kandungan kapurnya. Kami bantu dengan menampung dan mengolah air hujan. Di sana tandon dan alat setrumnya (untuk ionisasi, red.) lebih besar,” kata Thomas yang rutin mengonsumsi air olahannya itu.
Kampanye Masif
Apa yang dilakukan Thomas dan komunitas Oemah Udan, yakni menampung dan mengolah air hujan menjadi berbagai manfaat, ternyata belum banyak yang mengetahuinya, termasuk masyarakat Kota Semarang.
Pakar ilmu lingkungan Universitas Diponegoro Semarang Prof Sudharto P. Hadi sangat mengapresiasi apa yang dilakukan arsitek itu dengan upayanya memanen air hujan dan mengolahnya menjadi berbagai manfaat.
“Apa yang dilakukan Pak Thomas itu adalah memanen air hujan. Dengan menampungnya, bisa membantu mencegah hujan menjadi `run off` (air larian) yang menyebabkan banjir,” kata mantan Rektor Undip itu.
Diakuinya, selama ini masyarakat justru bersikap tidak bersahabat dengan air hujan, yakni “mengusirnya” agar jangan sampai menggenangi halaman rumahnya dengan bangunan-bangunan beton, dan sejenisnya.
Padahal, ucap sosok ramah kelahiran Klaten, 3 September 1954 itu, langkah “pengusiran” air hujan malah mengakibatkan banjir dalam skala lebih luas karena tidak bisa meresap ke tanah, berbeda jika ditanam atau ditampung.
“Caranya, buat sumur resapan, lubang-lubang biopori agar air hujan meresap ke tanah menjadi sumber air. Atau, bisa ditampung seperti yang dilakukan Pak Thomas. Ini harus dibudayakan secara masif,” tegasnya.
Apabila banyak orang yang meniru yang dilakukan Thomas, tidak akan lagi terjadi banjir di Semarang sehingga air hujan tidak lagi dimusuhi, melainkan bisa diolah menjadi berbagai manfaat positif.
“Pak Thomas membuktikan bahwa air hujan bisa memiliki berbagai kegunaan dan manfaat. Bisa untuk bikin hujan lokal buatan, bisa dikonsumsi, dan sebagainya. Untuk lingkungan, ini kampanye positif,” seru Prof Dharto.