SEMARANG, suaramerdeka,com – Banyak anak yang tidak bersalah menjadi korban kekerasan orang dewasa. Sangat disayangkan banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan, baik di ranah privat maupun di ranah publik tidak menggugah pemerintah untuk membuat kebijakan dan aksi konkrit untuk menjamin, memenuhi dan melindungi hak-hak anak. Tindakan yang diambil pemerintah menurut Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Rika Saraswati SH CN PhD, hanya bersifat insidental dan itupun hanya ketika kasus mencuat melalui media atau menjadi sorotan nasional. Apabila tidak termediakan, maka respon pemerintah dan aparat penegak hukum pasti juga akan berbeda.
Sudah banyak hal yang membuktikan hal ini misalnya, kasus perundungan atau bullying di sekolah. Perlindungan terhadap anak-anak sekolah sering terjadi. Akan tetapi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah hanya sebatas membuat ketentuan atau surat edaran, tanpa diikuti dengan komitmen dan tindakan yang tegas untuk menghapus praktek tersebut. Begitu pula dengan berbagai macam bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual – yang menurut KPAI angka kekerasan/ kejahatan seksual terhadap anak semakin meningkat.
Untuk membebaskan anak dari segala bentuk kekerasan, fisik, psikis, seksual, penelantaran dan perampasan kemerdekaan sesuai UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diperbaharui melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Anak. Kewajiban yang dilakukan oleh negara/ pemerintah untuk menjamin, memenuhi dan melindungi hak-hak anak. Selain itu masyarakat dan keluarga juga memiliki tugas untuk memenuhi hak-hak anak.
Menurut dosen yang konsern pada perlindungan anak, hukum perdata, hukum dan gender itu pemerintah Indonesia harus memulai gerakan yang bersifat nasional untuk mengubah paradigma orang dewasa Indonesia yang selama ini selalu menganggap bahwa anak adalah hak milik mereka. Pola pikir demikian menjadi alasan pembenar bagi orangtua atau orang dewasa untuk memperlakukan anak dengan semena-mena, memperlakukan anak dengan kekerasan, menjadikan anak obyek seksual dan berbagai bentuk kekerasan maupun perlakuan salah lainnya.
Perubahan paradigma ini sambungnya tidak hanya dimuat dalam peraturan perundang-undangan dan hanya menjadi slogan saja tetapi harus diterapkan melalui kebijakan dan tindakan yang mengikutsertakan seluruh kompnen pemerintah dan masyarakat. Pendekatan ekologis, yaitu pendekatan dengan cara melibatkan anak, keluarga, masyarakat, lingkungan di dalam masyarakat
dan pemerintah sangat diperlukan dalam hal ini. Harus ada pengetahuan dan kesepakatan bersama mengenai kebijakan dan tindakan yang akan ditempuh oleh pemerintah dan diketahui oleh masyarakat termasuk anak sehingga kebijakan dan tindakan dapat berjalan dengan baik.
Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Unika Soegijapranata melanjutkan, ide kota ramah anak sebaiknya benar-benar diwujudkan oleh setiap kota. Pemerintah daerah wajib membangun sarana dan prasarana yang diperlukan agar anak-anak dapat beraktivitas dengan aman. Perlu dibangun sarana dan informasi tentang zona-zona aman untuk anak, dapat berkomunikasi dengan aparat keamanan dalam hal merasa terancam. Semua ini hanya dapat dilakukan jika anak diberi pendidikan tentang fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Saat ini kota ramah anak di beberapa kota yang menjadi pilot projek pemerintah pusat masih berkutat pada penyediaan sarana fisik. Meskipun beberapa kota sudah membangun hotline.
Harapan membangun kota ramah anak di seluruh kota di Indonesia dengan sarana dan prasarana lengkap, mengubah pola pikir masyarakat dan anak-anak agar peduli terhadap hak-hak anak mungkin masih jauh dari harapan. Kenyataan di sekitar kita yang menunjukkan betapa tidak pedulinya pemerintah terhadap kebutuhan kaum minoritas. Dalam kasus perlindungan hak
anak maka semua elemen masyarakat harus bergerak.
Pemerintah harus mampu mengubah pola pikir sebagian besar masyarakat yang menganggap anak milik orang tua atau orang dewasa. Anak adalah kaum minoritas yang harus dijamin, dipenuhi dan dilindungi hak-haknya karena mereka adalah tunas bangsa Indonesia. Jika mereka mengalami perlakuan salah, penelantaran dan kekerasan sejak dini. Maka mereka dapat menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari dan bangsa ini akan menjadi bangsa yang masyarakatnya gemar melakukan kekerasan.
(Puthut Ami Luhur/ CN40/ SM Network)
sumber : berita.suaramerdeka.com