Penggunaan transportasi massal di Jawa Tengah belum sepenuhnya terwujud dengan baik. Penyebabnya adalah masih kurangnya kesadaran bersama elemen masyarakat dan pemangku kebijakan (pemerintah).
Kenapa transportasi massal masih sulit terwujud, karena kesadaran kita masih kurang, ungkap Peneliti Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Joko Setijowarno, saat menjadi narasumber pada acara Sosialisasi Rencana Pengembangan Angkutan Aglomerasi Perkotaan Wilayah Kedungsepur-Perkotaan Semarang- Demak, di New Hotel Metro Semarang, Selasa (18/12).
Meski begitu, pihaknya optimistis nanti dalam beberapa tahun ke depan transportasi massal akan terlaksana secara bertahap, karena melihat manfaat yang besar serta sudah menjadi kebutuhan bersama. Setidaknya akan mengurangi kemacetan, mengurangi emisi gas. Dan, yang paling utama mengedepankan pelayanan masyarakat yang nyaman, ungkapnya.
Narasumber lainnya dari Biro Perekonomian Setda Provinsi Jawa Tengah, Efendi Judi Ariyanto mengungkapkan, saat ini alat transportasi sudah menjadi kebutuhan primer. Dulu kebutuhan primer meliputi sandang, pangan, dan papan. Namun, saat ini transportasi masuk dalam kategori kebutuhan primer, karena menjadi penghubung antar wilayah.
Pelayanan
Pada intinya ujung-ujungnya masyarakat mendapatkan pelayanan yang baik, selamat, dan nyaman, katanya. Sementara Kasi Balai Transportasi Dishub Jawa Tengah, Joko Setiawan mengatakan, kebutuhan shelter dari hasil survei dan ketersediaan lokasi di kawasan Kedungsepur koridor tiga (Semarang-Demak) sebanyak 47 halte.
Perinciannya, 27 halte Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jateng arah Semarang- Demak, dan 20 halte BRT Trans Jateng arah Demak-Semarang. Beberapa halte pada rute tersebut kemungkinan membutuhkan tambahan kontruksi di bawah halte, karena dekat dengan perairan (sungai). Tak hanya itu, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan pada sistem pengoperasian, yakni armada berkapasitas 30-40 penumpang, jalur yang digunakan mix traffic (tidak eksklusif), hanya berhenti di halte atau shelter yang telah ditentukan dengan ketinggian lantai halte kurang lebih 85 cm (high deck).
Frekuensi kendaraan harus terjadwal, pengemudi hanya dituntut memenuhi standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan dan penerapan kontrol pembayaran dengan menggunakan sistem e-ticketing, tuturnya.
►https://www.suaramerdeka.com/smcetak, Suara Merdeka 19 Desember 2018 hal. 23