Konflik sosial karena diskriminasi dan perbedaan ras, agama, suku, bahasa, harus dihindari. Perguruan Tinggi memiliki peran untuk menekan agar tidak terjadi gesekan. ”Pendidikan menjadi salah satu media untuk mengatasi berbagai persoalan dan kebutuhan masyarakat.
Termasuk mencegah dan mengatasi konflik sosial,” ujar Dosen Hukum Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Marcella Elwina Simanjuntak dalam Seminar Nasional ”Memahami dan Menangani Konflik Sosial Berbasis Agama dan Etnis di Indonesia, Senin (28/11). Kegiatan digelar Fakultas Hukum dan Komunikasi di kampus setempat.
Selain Marcella, seminar juga menghadirkan pembicara dari Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir yang terlibat dalam penanganan konflik Syiah-Sunni di Sampang, dan Kepala Dayakologi Institut Pontianak, Benyamin Efraim yang ikut aktif dalam penyelesaian konflik berbasis etnis di Kalbar, serta Eddy Supriyanto, Kabid Kewaspadaan Nasional Bangkesbangpol Jatim.
Menurut Marcella, dalam mencegah dan menangani konflik sosial, PT dapat melaksanakan tri dharma. Yakni memberikan pendidikan atau pengajaran. ”Selain itu juga melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,” kata dia.
Kontribusi PT diberikan dengan cara menanamkan sikap toleran dan inklusif bagi seluruh anggota sivitas akademika. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan peacebuilding education dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler.
Diajak Berdialog
”Anggota sivitas akademika diajak untuk berdialog dalam rangka menumbuhkan kembali shared concern dan common goals dari kelompok lain yang hidup bersamanya,” kata dia. PT juga bisa melakukan riset untuk memberi informasi pada pengambil kebijakan dan masyarakat tentang akar atau penyebab konflik, bahaya konflik, dan cara penyelesaian konflik.
Selain itu, bisa pengabdian pada masyarakat dalam bentuk pendampingan pada korban. ”Harus dipahami bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia pada umumnya dipicu ras, agama, suku bahasa, dan diskriminasi distribusi sumber daya mulai dari ekonomi, sosial dan poltik yang tidak merata dalam kelompok atau masyarakat.
Isu yang paling kecil sedikitpun dapat dimanfaatkan seseorang atau kelompok tertentu untuk menebar kebencian,” tambahnya.
Konflik antara Muslim dan Kristiani di Ambon, Poso, Dayak dan Madura di Sambas, Pribumi dan Tionghoa di berbagai tempat, adalah berbagai contoh konflik berbasis agama dan etnis di Indonesia.
Koordinator Kontas Surabaya, Fatkhul Khoir menceritakan pengalamannya, kekerasan terhadap minoritas Syiah bermula karena ada persekutuan antara oknum pemerintah setempat dengan elit kyai di Sampang. ( http://berita.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 29 November 2016)