Rencana pemindahan ibukota RI baru adalah suatu keniscayaan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ibukota baru RI menjadi representasi identitas bangsa. Untuk itu, pembangunan kota berkelanjutan adalah syarat untuk ibukota RI baru menjadi identitas bangsa agar mampu memperoleh pengakuan dari bangsa-bangsa di dunia.
Hal itu disampaikan Dr. Rr. M. I. Retno Susilorini, ST., MT. Ketua Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan Unika Soegijapranata dengan judul “Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan Menuju Ibukota Baru” dalam kuliah umum Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan (RIL) bertema “kajian pemindahan Ibukota” di Lantai 4 Gedung Thomas Aquinas UNIKA Soegijapranata pada Senin (11/11/2019).
“Pembangunan ibukota RI baru di tahap awal dan tahap selanjutnya, membutuhkan pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan”, jelas Retno.
Menurut Retno, pembangunan infrastruktur bertujuan di ibukota baru mewujudkan pemerataan dan keadilan, katalisator pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan meningkatan kualitas hidup masyarakat.
“Ibukota RI baru yang green, smart, beautiful, dan sustainable harus dibangun dengan komprehensif antara hard science dan soft science, dengan ilmu rekayasa infrastruktur dan ilmu rekayasa lingkungan,” tegas Retno.
Generasi milenials akan menjadi pelaku pembangunan Ibukota RI baru, sehingga harus menyiapkan diri dengan kompetensi yang dibutuhkan. Kompetensi yang dibutuhkan untuk pembangunan Ibukota RI baru khususnya adalah kompetensi ilmu rekayasa infrastruktur dan ilmu rekayasa lingkungan, seperti yang menjadi bidang keahlian Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan (RIL) Unika Soegijapranata .
“Ibukota RI baru adalah representasi identitas bangsa Indonesia, maka, jadilah penentu jati diri bangsa dengan menjadi pelaku pembangunan Ibukota RI baru,” tegas Retno.
Amri Zarois Ismail, S. Pd, M. Ling, alumni Prodi RIL mengatakan, ancaman permasalahan lingkungan Ibukota Baru sendiri didirikan dengan maksud mengurai permasalahan ketidak seimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan beban populasi yang ada pada Ibu Kota lama.
Hal tersebut senada dengan pendapat Campbell C.C dalam New Town Another Way to Live (1976:18) tentang ide utama dalam konsep kota baru adalah untuk membentuk suatu rencana pembangunan dalam jangka waktu tertentu, untuk mencapai keseimbangan, kebutuhan fasilitas penduduk .
“Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, Ibu kota baru sedikitnya akan menampung 1,5 juta penduduk yang terdiri dari anggota legislatif, yudikatif dan eksekutif antara lain PNS, Polri, TNI, DPR, MA dan MK dengan masing-masing anggota keluarga 4 orang.
“Tentu jumlah itu bisa saja membludak mengingat perbedaan jumlah keluarga dengan perkiraan dan tentunya pertambahan populasai dari sektor yang mengikutinya seperti Industri, dengan demikian berkurangnya beban Ibu kota lama sama dengan penambahan beban yang signifikan pada wiayah Ibu kota baru”, jelas Amri panggilan akrabnya.
Amri melanjutkan, adanya penambahan beban yang signifikan pada wilayah ibu kota baru tentu memiliki risiko besar terhadap kerusakan lingkungan, kondisi existing Kalimantan Timur sendiri sebetulnya sudah cukup erat dengan berbagai permasalahan lingkungan yang timbul akibat laju pembangunan, risiko ini tentu akan meningkat seiring dengan pembangunan kota baru dalam jangka waktu yang cukup cepat.
“Adapun permasalahan kota yang berisiko timbul akibat penambahan beban yang signifikan pada Ibu kota baru adalah,” pungkasnya.
►https://sigijateng.id/2019/unika-soegijapranata-gelar-kuliah-umum-ankat-tema-pemindahan-ibukota-ri/