Masih dalam rangkaian Dies Natalis ke-35, Unika Soegijapranata Semarang menyelenggarakan Seminar “Energizing Innovation Culture” di Ruang Teater Thomas Aquinas, Selasa (8/8) . Tujuan utama seminar ini adalah untuk menciptakan budaya inovasi dalam diri para dosen muda di lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.
“Tema budaya inovasi ini dipilih karena inovasi merupakan kata kunci yang saat ini digunakan untuk menggambarkan kemajuan suatu institusi. Inovasi yang dimaksud disini tidak terbatas pada penciptaan produk tetapi juga penciptaan proses dan ide,” kata Angelika Riyandari PhD, Koordinator Seminar, seperti disampaikan Kepala Campus Munistry Unika Soegijaparanata Romo Aloys Budi Purnomo Pr.
Dengan seminar ini diharapkan para dosen muda Unika Soegijapranata berkesempatan untuk mendapatkan inspirasi maupun penyegaran guna melakukan inovasi dari para peneliti senior sekaligus bisa saling berbagi ilmu dan saling belajar sehingga dapat berkolaborasi untuk menghasilkan inovasi di kemudian hari.
Selain itu, para dosen muda ini diharapkan dapat lebih kritis terhadap manfaat-manfaat dan juga dampak yang ditimbulkan oleh inovasi ini.
Dua Sesi
Seminar yang diawali dengan doa dan berkat Romo Budi serta dibuka oleh Rektor Unika Soegijapranata, Prof Dr Ir Y Budi Widianarko Msc ini, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah sesi pleno yang menampilkan tiga pembicara utama dari bidang ilmu eksakta maupun ilmu sosial dan sesi parallel yang menampilkan dosen muda Unika Soegijapranata sebagai pembicara.
Pembicara utama yang pertama dalam sesi pleno seminar ini adalah Dr Muhammad Nur DEA dari Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro. Peneliti teknologi plasma pada Center for Plasma Research di Universitas Diponegoro ini berbicara tentang “Riset Kreatif, Inovatif dan Implementatif untuk Daya Saing dan Kemandirian Sains dan Technology”.
Pembicara utama kedua dalam sesi pleno seminar adalah Prof Dr Bagong Suyanto Msi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, peneliti dari Departemen Sosiologi ini membawakan pemaparan tentang “Membangun Kritis, Menumbuhkan Innovation Culture”. Pembicara utama ketiga adalah Prof Dr Ridwan Sanjaya dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Katolik Soegijapranata, pakar teknologi informasi, yang akan menampilkan presentasi dengan judul “Crowdsourcing as an Innovation Platform”.
Sesi parallel yang terbagi menjadi dua bagian, parallel 1 dan parallel 2, yang masing-masing dibagi dalam 4 ruang, merupakan ajang unjuk diri 23 dosen muda Unika Soegijapranata dari seluruh Fakultas dan Program Studi yang ada, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Hukum dan Komunikasi, Fakultas Bahasa dan Seni, Fakultas Psikologi, Fakultas Teknik, Fakultas Ilmu Komputer, dan Fakultas Arsitektur dan Desain.
Para dosen muda ini mempresentasikan ide inovatif dan produk inovatif yang mereka kerjakan selama ini. Keterlibatan dosen senior dalam penciptaan inovasi dosen muda diwujudkan dalam peran serta 42 dosen dan peneliti senior di lingkungan Unika Soegijapranata sebagai reviewer presentasi dosen muda.
Tiga Keynote Speakers
Muhammad Nur menerangkan, pentingnya mind map. Mengawali di akhir, mengakhiri di awal. Plasmaresearch menyentuh banyak aspek ekonomi, sosial, budaya dan antropologi.
Riset kreatif, inovatif dan implementatif untuk daya saing dan kemandirian sains dan tekhnologi. Para saintis harus berpikir untuk inovasi dan implementasi. Inovasi itu culture bukan fasilitas. Ada keasyikan untuk berkreasi.
“Inovasi muncul dari sebuah suasana akademik yang kuat, multidisiplin. Inovasi itu komitmen bukan hanya soal teknologi,” katanya.
Sementara itu, Bagong Suyanto MSi dari Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga menegaskan, membangun kritis menumbuhkan inovation culture. Peneliti sosial membangun cara pandang di balik yang tampak (behind).
“Contoh ilustratifnya, kalau ada istri menangis saat suaminya meninggal jangan disimpulkan bahwa ia sedang berduka. Belum tentu seperti itu! Ada istri menangis bahagia saat suaminya meninggal sebab ia terbebas dari KDRT yang bengis dari suaminya,” ujarnya.
“Inovasi itu melihat behind jangan hanya permukaan. Kritis karena kita berjarak. Kalau mau kritis jangan seperti kasmaran: mrongos dibilang sumeh, gemuk dibilang imut,” kata Bagong penuh humor.
Sementara itu, Ridwan Sanjaya bicara tentang crowdsourcing ad innovation platform. Tema ini masih tekait dengan distrustive innovation. Crowdsourcing terkait dengan praksis, servis, dan kontribusi. Outsource work to the crowd.
Crowdsourcing itu setara dengan gotong royong yang menggunakan teknologi modern. Ada koneksi talenta, mencapai tujuan bersama, ada kontribusi kolektif, ada mobilisasi sumber daya, terjadi organisasi, beaya tereduksi (reducing cost), co-creation tercipta hal yang baru. Itulah inovasi.
“Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Inovasi kreatif belajar dari semut. Dalam hidup kita kita kenal uber, grab, gojek. Kita kenal wikipedia, iStockPhoto, dan masih banyak contoh yang lain (linux, apache, GIMP). Maka perlu ada sharing, collaborative, dan creation,” papar dia.
Ketiga pembicara kunci seakan menjawab sambutan Prof Budi yang mengatakan, "Topik energizing memberi vitalitas dan energi. Menstimulasi. Innovation culture, bagian yang ditunggu untuk merobohkan revolusi ilmiah (scientific revolution). Menurut Ex Corde Ecclesiae universitas harus dibangun dalam sukacita ilmiah. Research harus sukacita. Itu mandat dari ex corde ecclesiae. Energizing memberi antusiasme ilmiah!"