Oleh Budi Widianarko
KETIDAKSETIAAN pada proses merupakan salah satu watak menonjol rezim pendidikan tinggi di Indonesia. Rezim ini selalu mendambakan terjadinya lompatan kuantum pada mutu dan reputasi universitas dengan hanya menggosok “lampu Aladin”.
Narasi besar yang coba diangkat pada tahun 2014 adalah pendidikan tinggi kita akan maju jika dikelola dalam satu wadah Kementerian Negara Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Widianarko, 2014). Setelah lima tahun berlalu ternyata belum banyak kemajuan yang dicatat, sehingga mulai dicari “lampu Aladin” baru.
Yang paling mutakhir, ketidaksetiaan pada proses diperagakan lagi dalam rencana mengimpor rektor untuk mengangkat reputasi dan peringkat dunia universitas-universitas negeri ini. Mewakili pemerintah, Menristekdikti mengaku bahwa rektor asing akan menghadirkan pendidikan kualitas dunia sekaligus mengakselerasi peringkat dunia universitas kita.
Rencana mendatangkan rektor asing ini juga menggambarkan betapa berat beban otoritas pendidikan tinggi negeri ini untuk mampu menciptakan universitas riset yang prestisius dan dengan peringkat tinggi di aras internasional. Semoga prakarsa untuk mengimpor rektor ini tidak sekadar lahir dari keputusasaan (out of desperation) birokrat pendidikan tinggi yang sudah melakukan banyak hal tetapi belum mendapati kemajuan berarti.
Sering kali otoritas pendidikan tinggi tergoda untuk menghindari proses penuh peluh dengan mengambil apa saja yang dirasa bagus dari luar. Selain keinginan memboyong rektor asing, pernah pula muncul keinginan untuk “membeli” muatan kurikulum dari institusi luar negeri yang dianggap bermutu. Memang langkah pintas ini berkesan mudah dan praktis, tetapi bukan cara paling efektif dalam membangun budaya akademik untuk sebuah universitas yang ingin memiliki standar mutu yang tinggi.
Enam tahun lalu, Wakil Presiden Boediono menyarankan agar perguruan tinggi Indonesia memanfaatkan bahan-bahan kuliah daring impor demi meningkatkan mutu dan daya saing di ranah internasional (Widianarko, 2013). Menurutnya, materi dan proses pengajaran itu umumnya disusun dan diolah oleh pendidik dan pengajar dari lembaga-lembaga pendidikan ternama di dunia di luar negeri. Karena itu, dijamin memenuhi standar internasional. Alihalih menunggu tersedianya dosen bermutu nan mumpuni di universitas kita, mengapa tidak langsung saja “mengudap” hasil ramuan para pengajar hebat dari kampuskampus ternama di dunia?
Mengandaikan muatan pembelajaran impor itu dapat dijalin rapi menjadi sebuah kurikulum yang utuh adalah sebuah harapan semu. Masih beruntung jika didapatkan sebuah mosaik, bagaimana jika yang diperoleh hanya sebuah puzzle? Salmi (2011) menekankan, yang diperlukan sebuah universitas untuk bertumbuh menuju kematangan adalah budaya pembelajaran dan riset yang autentik. Kata kuncinya adalah autentisitas.
Apa pun motifnya, sebenarnya prakarsa mengimpor akademisi atau materi pembelajaran sama sekali bukan hal baru dalam dunia pendidikan tinggi. Jamil Salmi, Koordinator Pendidikan Tinggi Bank Dunia, delapan tahun silam bahkan mengikutkan keduanya dalam sembilan kesalahan yang jamak terjadi dalam usaha menciptakan universitas kelas dunia.
Tiada Jalan Pintas
Kecenderungan jalan pintas juga terjadi di ranah riset. Memang, peningkatan peringkat universitas salah satunya ditentukan oleh riset. Namun memaksakan hilirisasi hasil riset perguruan tinggi untuk mendukung perkembangan industri nasional sebagai satusatunya jalan untuk meningkatkan kemampuan riset perlu dipertimbangkan ulang. Ada jalan lain yang layak dipertimbangkan. Upaya menghilirkan hasil penelitian universitas dan kebutuhan dunia industri masih jauh panggang dari api.
Sebaiknya kita lebih jujur dan sadar, memang jurang antara riset di universitas dan kebutuhan industri amatlah lebar. Mayoritas industri di negeri ini masih memanfaatkan temuan riset dari luar negeri atau menggunakan temuan ilmiah yang sudah tersedia bebas di ranah publik, seperti paten yang telah habis masa perlindungannya.
Sangat langka industri di Indonesia yang memanfaatkan hasil riset yang sepenuhnya dikerjakan oleh lembaga penelitian Indonesia. Sebaliknya, sangat sedikit industri multinasional yang menempatkan divisi riset dan pengembangannya di Indonesia dan lebih banyak di Singapura. Ini menunjukkan secara gamblang ketertinggalan universitas-universitas kita dalam hal riset. Dalam konstelasi seperti ini mendorong hilirisasi hasil riset tentu merupakan komitmen yang baik dan layak dukung, tetapi itu bukan satu-satunya pilihan. Yang justru layak dipertimbangkan adalah hulunisasi riset dari industri ke universitas.
Industri yang memiliki lisensi atau produk teknologi tertentu justru perlu didorong untuk bekerja sama dengan universitas untuk melakukan riset-riset fundamental demi penyempurnaan proses, fitur, atau mutu produk yang dihasilkan. Awalnya, pendanaan hulunisasi riset ini perlu disediakan oleh pemerintah. Namun begitu industri merasakan manfaatnya, angan-angan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar swasta berkontribusi sekitar 80% dana penelitian —seperti di negara-negara OECD— bukan tidak mungkin akan terjadi.
Tentu kita semua sepakat, mewujudkan satu atau beberapa universitas hebat bermutu tinggi di negeri ini adalah cita-cita yang mulia, tetapi harus pula disadari bahwa tidak ada jalan instan untuk mencapainya. Semua pemangku kepentingan hendaknya menyadari sejatinya universitas adalah sebuah lembaga pendidikan. Itu sebabnya belajar di universitas adalah menjalani pendidikan tinggi. Dalam pendidikan, jalan pintas memang tidak pernah ada. (40)
—Budi Widianarko, Guru Besar Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Unika Soegijapranata Semarang.
►Suara Merdeka 4 September 2019 hal. 6, https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/196626/universitas-kesetiaan-pada-proses