Keberhasilan DKI Jakarta menata transportasi dapat dijadikan contoh bagi para kepala daerah di kota-kota lain di Indonesia untuk menata transportasi kotanya.
Akademisi Program Studi (Prodi) Teknik Sipil Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Djoko Setijowarno menyatakan, agar daerah lain dapat membangun dan mengembangkan transportasi seperti di Jakarta, perlu komitmen bersama. Khususnya, dari pemerintah pusat dan daerah.
"Agak susah kalau tidak dibantu (pemerintah) pusat," ujarnya dalam siaran pers, Rabu (11/11/2020).
Selain intervensi pemerintah pusat, komitmen kepala daerah juga diperlukan. Sayangnya, komitmen pemerintah daerah umumnya masih minim. Tidak hanya itu, anggaran daerah yang minim, tidak sebesar DKI Jakarta, juga jadi halangan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di hadapan pemerintah pusat pada 2019 mengatakan, anggaran yang dibutuhkan untuk membangun transportasi massal di Jakarta dalam waktu 10 tahun mencapai Rp 605 triliun.
"Dana itu dipakai untuk menambah armada dan jangkauan Transjakarta, MRT, serta kereta ringan (LRT)," imbuh Djoko.
Keberhasilan Jakarta, terwujud karena komitmen seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta. Gubernur DKI terdahulu juga memiliki andil. Dimulai dari Sutiyoso yang melakukan gebrakan dengan memulai operasi Busway TransJakarta di tiga koridor. Dilanjutkan Fauzi Bowo melanjutkan untuk koridor berikutnya dan mulai merintis pembangunan MRT di Lebak Bulus.
Joko Widodo (Jokowi), menancapkan mulainya pembangunan MRT di Dukuh Atas, penataan trotoar, dan bus tingkat wisata.
Sementara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menuntaskan pembangunan 13 koridor Busway Trans Jakarta, penggunaan bus lantai rendah (low deck), Simpang Susun Semanggi, penataan dan pelebaran trotoar yang sebagian dapat dimanfaatkan jalur sepeda, serta memulai angkot gratis pada 10 rute saat jam sibuk pagi dan sore.
Masa kepemimpinan Djarot Saiful Hidayat yang relatif pendek, 4 bulan, melanjutkan program yang sudah dikerjakan Ahok sebelumnya.
Munculnya BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) dengan Bus TransJabodetabek dan Bus JR Connexion sejak 2016 atau PT KCI dengan operasionalisasi KRL Jabodetabek sejak 2013, juga merupakan wujud kepedulian pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
Pengukuhan program Pola Transportasi Makro (PTM) dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan di DKI Jakarta juga punya peran.
Program PTM mempunyai strategi yang meliputi pengembangan angkutan umum, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jaringan.
"PTM yang dibuat dalam perda menjadi penguat para gubernur DKI untuk mewujudkan transportasi yang humanis di Jakarta. Setiap kepala daerah atau gubernur di Jakarta memiliki kontribusi dengan inovasi masing-masing," beber Djoko, yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat itu.
Pada 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjenhubdat) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mulai membantu penataan transportasi umum perkotaan di daerah dengan skema pendanaan pembelian layanan (buy the service) di lima kota. Yaitu Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta dan Denpasar.
Nantinya, akan berlanjut dengan program bantuan pembangunan infrastruktur sepeda di beberapa kota. "Penyediaan transportasi umum harus disertai pula dengan penataan jalur sepeda dan fasilitas pejalan kaki," Djoko mewanti-wanti.
Kota-kota tersebut, kelak dapat dipersiapkan untuk mengikuti ajang Sustainable Transport Award (STA) di tahun mendatang.
Keikutsertaan itu untuk mengukur seberapa jauh pencapaian program yang sudah dikerjakan dalam menuju transportasi berkelanjutan.