Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menilai, saat ini, liberalisasi air tidak sekedar usaha komodifikasi air, melainkan juga telah mencapai tahap virtual sumber daya air (virtual water), serta penjajahan pola pikir kapitalistik.
Tim KRuHA dari Unika Soegijapranata, Wijanto Hadipuro menjelaskan, pada tahap ini, Negara maju dan korporasi Membiarkan negara lain yang memiliki kekayaan air melimpah namun lemah dalam pengaturan pembuangan limbah, menggunakan airnya untuk memproduksi arang yang membutuhkan banyak air atau menurunkan kualitas airnya. Sementara mereka lebih memilih mengimpor komoditi yang adat air, dibandingkan mendatangka air dan memproduksi di Negaranya sendri.
“Cara ini supaya tidak ada resistensi masyarakat di Negara berkembang saat airnya diperjual-belikan,” kata Wijanto kepada wartawan di Sleman, Jumat (21/10/2016).
Tahapan ini, menurut Wijanto, ditandai dengan relokasi industri, khususnya yang menggunakan banyak air dan menurunkan kualitas air, seperti industri tekstil dan pewarnaannya, industri tambang, industri penyamakan kulit, dan industri obat-obatan kimia.
“Jadi jangan bangga jika Indonesia unggul dalam industri tekstil dan produk tekstil, karena ini merupaan bagian dari strategi negara maju kapitalis,” ujarnya.
Sementara Edi Riyadi peneliti hak-hak masyarakat membandingkan, antara pengelolaan sumber daya air di Afrika Selatan dan Perancis, dengan Indonesia.
Edi mengungkapkan, secara normatif, Afrika Selatan dan Perancis telah mencantumkan hak atas air dalam konstitusinya. Selain itu, praktek perlindungan atas air juga memperlihatkan pro aktivisme pengadilan (progresif).
“Pembelajarannya bagi Indonesia, celah-celah hukum yang ada, ditutupi dengan pengadilan atau adjustification. Tetapi persoalan besarnya, menggunakan pendekatan pelanggaran yang bagi masyarakat itu terlambat,” papar Edi.
Aktifis KRuHA lainnya, Muhammad Reza juga menyayangkan, Indonesia yang sebenarnya memiliki kekayaan sumber daya air melimpah, justru menjadi pasar air besar-besaran.
“Kalau pemerintah mengklaim telah menyediakan 83 persen air, itu berarti telah melakukan pembohongan publik dengan mengutak-utik data,” tegas Reza.
Sebab faktanya, Reza menyebut, masih ada sekitar 120 juta penduduk Indonesia yang tidak bisa mengakses air bersih. ( https://kabarkota.com )