Oleh Aloys Budi Purnomo Pr
SEJAK virus Korona, atau dikenal Covid-19, melanda, reaksi masyarakat luas beragam warna. Mulai dari tingkat akar rumput yang penuh canda, hingga para pemimpin negara dengan sikap waspada dan berjaga- jaga. Bahkan, para kepala negara, termasuk Presiden Joko Widodo, memberikan reaksi positif sebagai upaya tak hanya waspada dan berjaga-jaga, melainkan menanggulangi dan mencegah, syukur menghentikannya.
Sebagaimana dirilis dalam suaramerdeka.com (16/3/2020), Presiden Jokowi mengatakan, “Inilah saatnya bekerja bersamasama saling tolong-menolong dan bersatu-padu, gotong royong. Kita ingin ini menjadi gerakan masyarakat agar masalah Covid-19 tertangani dengan maksimal.”
Artikel ini akan melihat fenoma Covid-19 dari sisi solidaritas bela rasa. Ulasan teknis maupun medis sudah banyak disampaikan oleh pihak-pihak berkompeten di bidangnya. Namun, belum ada yang melihatnya dari sisi solidaritas bela rasa.
Sejak berita bahwa Covid- 19 melanda Wuhan, Tiongkok, sebenarnya sudah tergambar aspek solidaritas di tengah masyarakat kita. Mgr. Robertus Rubiyatmoko, misalnya, melalui surat resmi Nomor: 0190/- A/X/2020-4, Perihal: Himbauan dan Ajakan, sudah menampakkan solidaritasnya. Dengan surat tertanggal 13 Februari 2020, Uskup Agung Semarang mengajak melakukan dua hal.
Pertama, menyadari bahwa penyebaran Covid-19 yang telah menimbulkan begitu banyak korban, baik meninggal maupun dirawat di rumah sakit di beberapa negara. Maka Mgr. Ruby mengajak semua untuk memberikan dukungan kepada saudari-saudara kita tersebut dengan mendoakan di setiap hari.
Kedua, doa tak hanya ditujukan untuk para korban, tetapi juga untuk siapa saja yang dengan tulus iklas berkorban merawat dan memelihara korban Covid-19. Beliau juga mengimbatu agar melalui berbagai cara dan tingkatan masing-masing membantu meringankan beban saudara-saudari kita tersebut. Lalu dengan bijaksana mengolah informasi, khususnya mengenai hal tersebut, seraya menciptakan dan menjaga suasana yang aman dan damai.
Hemat saya, inilah salah satu dari sekian banyak contoh lain yang bisa direnungkan sebagai bentuk nyata solidaritas di tengah maraknya wabah akibat Covid- 19. Himbauan itu bahkan sudah dirilis sejak pertengahan Februari 2020 lalu. Sejak itu pula, seluruh umat yang setiap hari Senin-Jumat merayakan Ekaristi di Kapel St. Ignatius Unika Soegijapranata menyaksi saksi dan bersama saya terus-menerus mempersembahkan doa itu sebagai bentuk solidaritas.
Tanpa Diskriminasi
Alih-alih menggoreng fakta demi alasan sosial politik yang menebarkan kecemasan dan kepanikan. Solidaritas yang dibangun seperti itu, kiranya menjadi contoh positif menghadapi virus korona. Solidaritas masih bisa terus dibangun dalam berbagai bentuknya tanpa diskriminasi.
Mengharukan bagi saya saat menerima video (XinhuaVideo) bahwa atas nama rasa kemanusiaan dan solidaritas, para ahli medik dari Tiongkok, mendarat di Irak dan bersatu padu dengan pihakpihak terkait setempat untuk melawan virus korona. Ini contoh global di samping contoh lokal yang dilakukan oleh Keuskupan Agung Semarang.
Pokok gagasannya adalah solidaritas. Di tengah situasi dan kondisi yang sedang dicekam oleh wabah virus korona, kita tidak terjebak dalam kecemasan dan kepanikan melainkan pengharapan dan kasih untuk bersikap solider dengan sesama. Maka, sikap yang dikembangkan bukan caci-maki dan memelintir fakta sosial menjadi bahan mengobarkan kebohongan, apalagi kebencian dan permusuhan terhadap sesama. Itulah aspek solidaritas.
Dalam solidaritas terdapat bela rasa. Bela rasa bermakna lebih mendalam dibandingkan solidaritas.
Solidaritas bisa dipelesetkan menjadi peyoratif sikap solider terhadap keburukan, bahkan kejahatan. Sementara bela rasa itu selalu positif bahkan di tengah situasi negatif.
Kata bela rasa diterjemahkan dari compassion dalam bahasa Inggris. Kata compassion sendiri memang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, sebab kata compassion mencakup bela rasa, kemurahan hati, dan belas kasih.
Maka, bela rasa erat terkait dengan kemurahan hati dan belas kasih. Bela rasa selalu bermakna positif. Dalam saat-saat ketika kita merasa sakit, menderita dan hancur, seseorang hadir bersama kita. Kehadiran itu memberi perhatian dan kasih.
Ini berlawanan dengan karantina, isolasi, apalagi lockdown. Bela rasa menghadapi Covid-19 tidak membuat kita terjebak dalam sikap pragmatisegois, menumpuk sembako demi diri sendiri, menaikkan harga masker, atau hal-hal yang dibutuhkan untuk menangkal Covid- 19. Alih-alih mengeruk keuntungan dan menari di atas punggung penderitaan sesama, bela rasa untuk hadir dan meneguhkan dalam kasih dan perhatian. Aspek inilah yang jangan sampai dilupakan dalam menghadapi Covid-19! (54)
— Aloys Budi Purnomo Pr, rohaniwan, Pastor Kepala Campus Ministry Unika Soegijapranata, Semarang.
►https://www.suaramerdeka.com/news/opini/222250-virus-korona-dan-bela-rasa, Suara Merdeka 18 Maret 2020 Hal. 6