”Selama ini, jika melihat harmoni seolah-olah selalu arahnya ke luar negeri. Padahal di tempat kita sendiri terdapat keberagaman yang dapat hidup dengan selaras. Hal ini harus kita promosikan supaya dilihat dunia,” tutur Rektor Unika Soegijapranata Budi Widianarko di hadapan delegasi Association of Southeast and East Catholic Colleges and Universities (ASEACCU) Annual Conference and Student Camp di Masjid Agung Jawa Tengah, akhir pekan lalu.
Kita mengamini pernyataan tersebut sebagai realitas kuat, bahwa Jawa Tengah merepresentasikan keberagaman sebagai produk internalisasi kebhinekaan di Indonesia. Kehidupan multikultur menjadi corak yang tak terbantahkan sebagai cermin ”itulah Indonesia”. Relasi umat beragama yang kondusif menggambarkan ”pelangi di langit Nusantara” sebagai kekuatan kebangsaan yang menyuarakan keindahan hidup bersama.
Budi Widianarko melukiskan Semarang sebagai pusat keunggulan provinsi ini, karena berbagai etnis dapat membaur tanpa membedabedakan. Orang luar negeri ingin belajar bagaimana umat berbeda agama di sini bisa hidup berdampingan. Semua, dalam pengamatan kita, berjalan alamiah sebagai ”kehidupan sehari-hari”, kebiasaan yang tak harus dikonsep dengan aneka teori, prosedur, dan prosesi, namun bergerak dinamis ”apa adanya”.
Berbagai ikhtiar menyuarakan keberagaman terus bergaung, menjadi ungkapan kesadaran untuk menjaganya sebagai keindahan interaksi kemanusiaan. Berbagai bias yang mengekspresikan kontradiksi terhadap kondisi ini sesungguhnya muncul dari kelompokkelompok kecil, namun dalam setiap gerakannya mampu mengopinikan seolah-olah sebagai penghegemoni atmosfer interaksi kebangsaan dengan pilihan sikap yang berbeda.
Maka, silaturahmi ASEACCU ke MAJT kita tempatkan sebagai bagian dari kehendak membangun soliditas iktikad keberagaman antarelemen masyarakat. Sejalan dengan kredo yang digaungkan organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama dengan Islam Nusantara-nya, gerakan-gerakan silaturahmi nasional seperti itu perlu kita kembangkan sebagai bentuk lain membangun ruang dialog antarelemen kebangsaan, kultur, bahkan agama.
”Pelangi di langit Jawa Tengah” ini harus terus kita siram dengan air penyejuk, pupuk rohaniah yang mampu merekatkan dengan contoh-contoh nyata silaturahmi para pemimpin. Ketua Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah Noor Achmad membuka ruang dialog itu dengan cara yang mengalir dan alamiah. Ketokohan dan kemauan untuk memahami, lalu mengimplementasi keberagaman ini menjadi fondasi keagungan silaturahmi kebangsaan.