● Soal Beras Sintetis
GAJAHMUNGKUR– Dua bulan terakhir ini, masyarakat digegerkan dengan berita beras palsu yang terbuat dari plastik. Penegak hukum dan lembaga terkait lantas melakukan serentetan pemeriksaan.
Namun hingga kini, pemerintah belum juga memberi kepastian akan keberadaan beras plastik itu. Hak dan kedaulatan masyarakat untuk memilih pangan yang aman tidak terpenuhi.
”Dengan kondisi yang tidak pasti begini, masyarakat sebagai konsumen menjadi bingung. Sebenarnya beras plastik itu ada atau tidak, kalau ada di mana beredarnya
dan bagaimana cara menghindarinya,” kata Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Jawa Tengah, Ngargono.
Ngargono mengemukakan itu dalam seminar nasional tentang ”Hak Masyarakat Atas Keamanan Pangan” di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Sabtu (13/6). Beras plastik menjadi topik pembahasan dalam seminar tersebut. Beras yang diduga berasal dari bahan plastik itu awalnya ditemukan dari keluhan pedagang
bubur di Bekasi, Dewi Septiani.
Namun hasil uji Pusat Laboratorium Forensik Polri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Perdagangan atas sampel beras itu menunjukkan hasil negatif. Sebaliknya hasil uji laboratorium PT Sucofindo memastikan sampel beras positif mengandung bahan plastik.
”Masyarakat harus percaya yang mana? Di sinilah terjadi pelanggaran hak konsumen. Dalam hal ini hak keamanan pangan,” lanjut Ngargono.
Perlindungan Hukum
Menurut pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Diponegoro (Undip), Prof Anies, jika temuan beras plastik itu benar, sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Hasil uji beras yang positif mengandung plastik menunjukkan, beras mengandung Benzyl butyl phthalate, Bis 2-ethylhexyl phthalate dan Diisononyl phthalate.
”Itu adalah bahan pembuat plastik. Sistem pencernaan manusia bahkan tidak akan sanggup mencerna makanan yang mengandung plastik. Bisa saja terjadi gangguan langsung pada sistem pencernaan,” kata Anies.
Menurut dia, gangguan yang perlu dicermati adalah mual sampai muntah. Komponen plastik juga potensial mengiritasi sistem pencernaan. Proses pembuangan dari makanan yang mengandung plastik bisa bermasalah, antara lain diare atau bahkan sembelit.
Perlindungan hukum untuk hak atas keamanan pangan bagi masyarakat telah ada. Pasal 68 UU Nomor 18/2012 tentang Pangan menyebutkan pemerintah menjamin terwujudnya penyelenggaraan keamanan pangan di setiap rantai pangan secara terpadu.
”Perlindungan hukumnya ada. Jaminan terwujudnya perlindungan itu belum ada dalam praktik,” kata dosen Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Endang Wahyati.
Menurutnya, yang dibutuhkan adalah sistem penegakan hukum yang kuat dalam hal pangan. Sanksinya tidak main-main, penjara dan denda miliaran rupiah. Menurutnya, keamanan pangan terkait langsung dengan kondisi kesehatan rakyat.
Rakyat yang terganggu kondisi kesehatannya, akan menghambat pembangunan.
”Namun untuk kasus beras plastik ini, kita belum sampai pada ranah penindakan pelanggaran. Untuk memastikan positif dan negatifnya keberadaan beras plastik saja pemerintah belum jelas. Karena itu, saya setuju mendesak pemerintah menjelaskan itu,” tandas Endang.
Berkait perlindungan keamanan pangan, Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan Balai Besar BPOM Semarang Zeta Rina Pujiastuti mengatakan pihaknya selalu meakukan pengawasan rutin dan intensif.
”Pengasasan rutin dilakukan sepanjang tahun oleh Balai Besar BPOM seluruh Indonesia. Sedangkan pengawasan intensif dilakukan menjelang bulan Puasa, Natal, tahun baru dan hari besar agama lain di daerah tertentu,” kata Zeta. (H89-43)
sumber : http://epaper.suaramerdeka.com/read/2015/06/15/24SM15F15SMT.pdf