SEMARANG – Isu lingkungan hidup lagi-lagi menjadi terpinggirkan dalam konsep visi dan misi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam visi dan misi yang ditawarkan tak memuat dengan jelas konsep pelestarian lingkungan. Isu seputar lingkungan hidup masih dikalahkan dari kepentingan ekonomi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang, Selasa (3/6). Diskusi digelar bertajuk “Mengkritisi Konstruksi Visi dan Misi Capres-Cawapres.” Rektor Unika, Profesor Budi Widianarko mengatakan, Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tidak menempatkan lingkungan sebagai isu tersendiri dalam visi-misi. Berbeda dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) yang menyebut kelestarian alam dan lingkungan dalam salah satu agenda misi.
”Jokowi-JK ini menggunakan pendekatan perbaikan perilaku dalam menjaga lingkungan. Sementara, Prabowo-Hatta menggunakan pendekatan penegakan hukum. Tapi menurut saya, keduanya nyaris tak berbeda, karena sama-sama menyandera restorasi lingkungan dalam kepentingan pertumbuhan ekonomi,” kata Budi.
Perbaikan lingkungan dengan reboisasi misalnya, lanjut Budi, dikaitkan dengan kemanfaatan ekonominya. Restorasi lingkungan bukan untuk kelestarian lingkungan itu sendiri. Namun untuk melayani kebutuhan ekonomi. ”Jika seperti itu, secara jujur saya pesimistis. Pasangan mana pun yang terpilih tidak akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan,” ujar Budi.
Selain soal lingkungan, kedua pasangan capres-cawapres juga dianggap tak memiliki tawaran perubahan pada bidang pendidikan. Tetap membiarkan sekolah mengejar ukuran kuantitatif. Seperti, target kelulusan 100 persen, target angka partisipasi kasar dan murni. ”Bahkan dalam visi misinya, Prabowo-Hatta jutru memberi iming-iming pragmatis untuk gaji guru dan sertifikasi. Ini jelas untuk mendulang suara, tapi bagaimana meningkatkan mutu guru, itu tidak digagas,” kata dosen Universitas Negeri Semarang (dulu IKIP), Dr Saratri Wilonoyudho.
Nilai Hidup
Sementara Jokowi-JK, mengedepankan pendidikan kewarganegaraan dan patriotisme. Hal itu dinilai tak berdasar, karena justru yang tidak patriotis adalah eksekutif dan dewan yang korup dan menjual negara kepada kepentingan asing. Menurutnya, pendidikan formal harus bisa menanamkan nilai hidup. ”Pendidikan formal itu hanya tujuh jam. Selepas itu anak ‘dididik’ televisi, tapi lihat tayangan televisi saat ini. Apakah sudah bisa menanamkan nilai-nilai yang ingin dicapai bangsa ini?” kata Saratri.
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Bekti Nugroho mengatakan, tayangan televisi Indonesia tidak memuat nilai sosial budaya Indonesia.
”Acara televisi rating teratas justru hanya guyonan dan reality show yang tidak mengandung pesan moral,” kata Bekti.
Di bidang ekonomi sendiri, kedua pasangan calon memiliki perbedaan visi misi mencolok. Jika Jokowi-JK memilih bermain aman dengan tidak meyebut target. Prabowo-Hatta terang-terangan menyebut target pertumbuhan ekonomi. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata, Dr Angelina Ika Rahutami berpendapat, Jokowi-JK tidak menjanjikan perubahan ekonomi secara cepat. Pasangan ini menitikberatkan pada regulasi ekonomi. “Pasangan Prabowo-Hatta menjanjikan perubahan ekonomi cepat, dengan memberi peluang bergerak yang tinggi kepada swasta. Ini harus hati-hatu, karena beban APBN tinggi dan bisa bocor dalam peran swasta yang tinggi,” kata Ika. (H89-90)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi