Sepuluh tahun lalu, ia berandai-andai untuk bekerja di bidang yang dekat dengan anak-anak. Alasannya sederhana, sangat menyukai dunia anak-anak. Dan passion-nya tersebut membawa Fransisca Nur Widhi Krisanti menjalani profesinya sebagai guru di salah satu sekolah internasional di Semarang.
Sebelum menjadi guru di sekolah formal, sewaktu kuliah Sisca, begitu ia biasa disapa, pernah menjadi guru les Bahasa Inggris untuk anak-anak. Tahun pertama (2008) bekerja di sekolah internasional, ia tidak langsung menjadi guru, tetapi sebagai floater atau pendamping.
Lalu tahun kedua, Sisca menjadi asisten guru bagi peserta didik pre-school (PAUD). Setahun kemudian ia menjadi guru kelas, yang merupakan pengalaman pertamanya sebagai guru sekolah. Wanita yang hobi jalan-jalan tersebut mengatakan, tahun pertama menjadi guru sering mendapat komplain dari orang tua murid, antara lain karena ada anak yang menangis akibat terjatuh ataupun bertengkar.
Seiring berjalannya waktu, ia terus belajar bagaimana mendidik, menangani, dan memahami murid-muridnya. Beragam pengalaman yang ia dapat menjadi pelajaran bagaimana harus menangani masing-masing muridnya. ”Mereka datang dengan karakter masingmasing.
Sebagai guru saya harus mencari tahu tiap anak itu ingin belajar seperti apa. Misalnya anak lebih suka musik, berarti harus menyediakan alat musik. Berikan yang sesuai dengan minat anak,” ujarnya. Sisca mengatakan, bila sudah tahu triknya, anak-anak akan lebih mudah ditangani. Tantangannya tentu saja berbeda untuk masingmasing anak.
Belum lagi pola asuh yang kerap berbenturan dengan pola asuh anak di rumahnya. Wanita lulusan Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang itu mengungkapkan, sebagai guru harus tegas, karena anak akan melihat wibawa gurunya, di mana ia tidak bisa menjadi manja, ia harus bisa mandiri dan memiliki life skill.
Bagaimana dengan anak yang tidak mau belajar atau anak yang bandel? ”Prinsip saya, tidak ada anak yang nakal, tugas saya ya harus memberikan aktivitas yang sesuai dengan minat mereka,” tuturnya.