“Tidak ada suatu apapun yang bisa dibilang terlambat”, itulah motto hidup dari Diana Setyorini, sebagai salah seorang wisudawan terbaik dari Program Studi Arsitektur Unika Soegijapranata dengan IPK 3,72.
Menurut wanita yang lahir di kota Semarang 27 Juni 1998 ini, sering sekali ketika sudah melangkah sesuai dengan step-step yang kita lakukan, kita menengok langkah orang lain, tidak jarang kita menganggap langkah kita sudah terlalu lambat atau tertinggal jauh. “Padahal tidak. Setiap langkah dari kita adalah proses masing-masing individu yang tidak bisa disamakan. Dan persoalan hidup itu bukan balapan tapi berproses. Jadi tidak ada kata terlambat dalam hal apapun”, jelasnya.
Diana, panggilan akrabnya, yang mempunyai hobi menyanyi, bermain alat musik (gitar atau kalimba), brainstorming ini sebelumnya pernah bersekolah di SMA N 3 Semarang. Menurutnya, genre musik apapun baginya dapat Ia terima asalkan dia bisa menyanyikannya.
“Rumah Susun Nelayan Tambak Rejo Semarang dengan Pendekatan Humanisme ” adalah judul skripsi dari Diana. Perlu diketahui bahwa memang membangun adalah hal yang mudah tapi perkara manusia, sosial, aktivitas dan budayanya adalah hal yang sulit. Ia pun bercerita bahwa judul tersebut berangkat dari permasalahan akan kebutuhan tempat tinggal nelayan Tambak Rejo Semarang yang baru saja terkena dampak dari relokasi.
“Saya melihat nelayan membutuhkan rumah tinggal yang bersifat humanis. Humanis yang saya petik disini artinya adalah bersinergi dengan alam berdinamika dengan alam”, jelasnya. Menurutnya kita dapat menciptakan tempat naungan bagi nelayan yang sesungguhnya sudah sangat dekat dengan dinamika pesisir dengan mencoba melakukan proses desain yang menekankan sinergi dan dinamika dengan alam sehingga penggunanya pun tidak menolak aktivitas alam namun menerima dan dapat hidup berdampingan.
Putri dari Bapak Didik Setyo P dan Ibu Ana Sofianita tersebut diam-diam ternyata mempunyai pengelolaan waktu yang unik. “Ini hal yang cukup sulit. Tapi ada satu hal yg saya terapkan yaitu apapun yang kita niatkan. Sudah kita niatkan kita yakin kita bisa membagi untuk A, B dan C maka akan dapat terbagi waktunya dan yang perlu ditekankan adalah sebenarnya batas limit diri kita untuk membagi sesuatu dalam diri kita termasuk waktu itu adalah diri kita sendiri.”
Menurutnya Ia adalah tipe seorang deadliners. Deadliner dengan plan. “Jadi bagi kalian seorang deadliner jangan terlalu stres dengan sikap menunda. Tapi yang perlu dilakukan adalah melakukan planning apa saja yang sudah ditunda dan backup plan apa sih yang harus dilakukan”,tuturnya.
Diana adalah anak tunggal. Hal itu tidak menyurutkannya dalam berkegiatan di kampus. Ia pun aktif kegiatan organisasi kepanitiaan di dalam kampus. Kegiatan yang Ia ikuti di dalam kampus yakni aktif dalam beberapa kegiatan seperti FAD Choir, ATGW sebagai co–trainer tahun 2017 dan SALT 2017 kemudian beberapa acara kepanitiaan lain.
Memang kegiatan yang dimiliki oleh Diana cukup banyak namun Ia bukan orang yang mudah down, tetapi mood changing yang lebih berbahaya, sebab up dan down dengan hal-hal yang mungkin menurut sebagian orang adalah hal sepele. “Kenali dirimu dulu. Pahami diri sendiri. Sadari apa yang sedang dirimu rasakan. Mencoba jujur atas apa yang dirimu rasakan. Tetap fokus pada proses healing diri dan jangan menengok proses orang lain. Setelah itu cari solusinya”, jelasnya. Menurutnya, kita ini adalah manusia yang butuh ruang untuk bernafas dan merefleksikan diri kita.
Ia juga berpesan kepada adik-adik tingkatnya agar dapat menemukan arsitektur versi diri teman-teman. “Jangan khawatir jika versimu tidak sama dengan versi orang lain. Dan lakukan sebaik baiknya arsitektur versi dirimu”, pungkasnya. (Thobie)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi